NTT-News.com, Tambolaka – Bupati Sumba Barat Daya (SBD), dr. Kornelius Kodi Mete meminta kepada para kepala desa agar menggunakan dana desa dengan baik dan sesuai dengan Permendagri/PMK serta juknis sebagai turunan dari peraturan Menteri.
Peringatakan ini disampaikan Bupati pasca banyaknya kepala desa yang tidak mendapat surat rekomendasi karena banyaknya temuan yang tidak bisa diselesaikan Kepala Desa dan akibatnya tidak dapat mencalonkan diri kembali sebagai Calon Kepala Desa.
Menurutnya, temuan-temuan yang mengganjal para Kepala Desa tersebut masih sebatas temuan untuk berbagai pajak penggunaan keuangan desa. Sementara pekerjaan pembangunan lainnya masih belum di audit, jika diaudit maka ada kemungkinan semakin yang bermasalah.
Oleh karena itu, dia berharapa agar pada tahun 2021 ini, seluruh pekerjaan dikerjakan dengan baik dan dikerjakan oleh masyarakat desa itu sendiri sehingga dampak dari adanya pekerjaan tersebut, masyarakat dapat menikmati langsung hasilnya dengan upah kerja yang masyarakat terima.
Berkaitan dengan adanya isu beberapa oknum Kepala Desa di Kodi yang selalu memberikan pekerjaan kepada oknum Aparat Penegak Hukum, Bupati menegaskan agar Kepala Desa tidak main-main dengan memanfaatkan aparat TNI dan Polri dan merasa akan dimuluskan dari jeratan hukum.
“Walaupun aparat yang kerja, jika kerja main-main dan tidak sesuai aturannya maka jangan merasa akan dimuluskan karena aparat yang kerja, justru kepala desa yang membawa aparat dalam pencobaan yang salah, sebab ada larangan anggota polisi atau TNI dan Jaksa bermain proyek atau pengadaan barang dan jasa. Jadi proyek dana desa harus sifatnya swakelola,” tegas Bupati dua periode ini, Jumat 23 Juli 2021 malam.
Terkait dugaan adanya indikasi menggunakan masyarakat pihak ketiga dan masyarakat sipil untuk memuluskan pemberian pekerjaan kepada aparat penegak hukum, Bupati menyarankan agar masyarakat yang mengetahui hal itu untuk segera melaporkan atau mengadukan langsung ke Propam Polri.
“Sekarang kan sudah gampang, bisa diadukan ke Mabes Polri secara online atau offline, tinggal kirim sms atau WA ke Mabes dengan menyertakan bukti-bukti yang keterlibatan anggota yang kuat dan akurat, pasti ditindaklanjuti,” sarannya.
Berdasarkan penegasan Bupati ini, Kapolri mempertgas dalam surat telegram Kapolri Nomor ST/3388/XII/HUM3.4./2019 disebutkan bahwa untuk melakukan upaya pencegahan serta penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi, ada tiga hal yang tidak boleh dilakukan polisi.
Yakni, tidak meminta dan menerima pemberian terkait penyelenggaraan proyek atau pekerjaan apapun dalam pengadaan jasa pemerintah daerah (pemda) atau pihak lainnya. Lalu, anggota Polri juga dilarang mengintervensi dan mengintimidasi untuk memengaruhi keputusan dalam pengadaan barang dan jasa.
Terakhir, anggota polisi tidak diperbolehkan bersekongkol dan bermufakat jahat dengan pemda terkait pengadaan barang atau jasa. Bahkan, dalam telegram yang ditandatangani Kabareskrim Komjen Listyo Sigit Prabowo terdapat pesan, bila ada informasi atau pengaduan Bareskrim akan melakukan supervisi bersama Divpropam Polri.
Karopenmas Divhumas Polri Brigjen Argo Yuwono mengatakan, telegram itu merupakan pemberitahuan terhadap kapolda dan kapolres. Agar berperan dalam mengawal pembangunan nasional. “Kalau ada internal yang main-main, kami tindak,” tegasnya.
Sementara itu, anggota Ombudsman Adrianus Meliala menuturkan, petunjuk teknis Kapolri untuk menjaga investasi dan dana desa merupakan hal yang baik. “Semua sepakat dengan itu,” tuturnya.
Namun, yang perlu dipahami ada situasi di lapangan yang berbeda. Dalam pengawasan dana desa harus ada instrumen yang jelas. “Kalau tidak, akan sama saja,” paparnya dihubungi, kemarin.
Menurutnya, instrumen itu berguna sebagai pedoman bagi aparat, dari Bhabinkamtibmas hingga kapolda. Apa yang harus diawasi dan bagaimana pengawasannya di desa. “Harus memiliki ukuran, agar tidak menjadi berlebihan dan tidak mencari-cari,” urainya.
Bahkan, Kapolri perlu memiliki instrumen yang mampu untuk mengetahui kapan dan apa yang diawasi di Desa. “Ini perlu karena aparat seperti Polri, TNI, dan Kejagung (Kejaksaan Agung) itu instrumen negara yang bisa membuat orang takut dan khawatir,” urainya.
Pejabat daerah hanya bisa mengiyakan bila ada permintaan dari aparat semacam itu. Sebagai contohnya, Tim Pengawal Pengamanan Pemerintah dan Pembangunan Daerah (TP4D) di Kejagung. “Yang awalnya mengawasi dan mengamankan, malah diselewengkan. Lama-lama main dan jadi preman,” tuturnya.
Adrianus menuturkan, Kejagung juga memastikan, TP4D ternyata tidak memiliki surat keputusan (SK). Yang artinya, tidak memiliki instrumen yang jelas. “Ini tidak ada sistem yang mencegah salah pakai,” terangnya.
(rey/idr/byu/JPG/rom/k8)