(Refleksi Putusan (Hakim) yang berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”)
Oleh : Robertus Salu, SH
Advokat pada Kantor Rudolfus Tallan, SH,MH & Partners
Kita ketahui bahwa Negara Indonesia merupakan Negara Hukum (rechtsstaat) yang berdasarkan Pancasila dan Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia serta menjamin warga negara bersama kedudukannya di dalam Hukum dan Pemerintahan. Dengan demikian negara hukum dapat diartikan bahwa semua segi dan sendi kehidupan yang berlaku di masyarakat harus berdasarakan pada norma-norma dan aturan-aturan yang berlaku dalam masyarakat.
Masyarakat yang majemuk tentu akan melahirkan pemahaman dan pengertian tentang negara hukum yang berbeda-beda satu sama lain Salah satu pilar untuk bisa dikatakan negara hukum adalah adanya pengadilan yang merdeka, bebas, independen dan melahirkan putusan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Di Indonesia, pelaksanaan pengadilan (kekuasaan kehakiman) tersebut telah diatur dalam sebuah Undang-Undang.
Kekuasaan kehakiman yang dijelaskan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman harus mampu memberikan rasa keadilan kepada masyarakat dan para pencari keadilan. Proses peradilan yang dilakukan diharapkan mampu memberikan keadilan bukan hanya kepastian hukum semata, karena tentunya Putusan Hakim Merupakan Cermin Rasa Keadilan bagi masyarakat.
Undang β undang no 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman harus mampu memberikan rasa keadilan bagi masyarakat dan para pencari keadilan, dalam pasal 2 ayat 1 jelas diterangkan bahwa, peradilan dilakukan demi keadilan berdasarkan Ke-Tuhanan Yang Maha Esa, yang menurut hemat penulis mempunyai makna bahwa putusan hakim harus mampu memberikan rasa keadilan yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, makna ini juga sangat luas dan penting karena, tidak hanya berkaitan dengan para pencari keadilan saja namun sangat erat kaitannya dengan Makna Tuhan Sang Pencipta Hidup.
Dengan demikian Hakim memiliki Tanggung jawab besar Kepada Sang pencipta. Dewasa ini terjadi fenomena yang luar biasa dalam penegakan hukum di Indonesia. Sering kita temukan begitu banyak putusan-putusan hakim yang dirasakan sangat merugikan rasa keadilan masyarakat. Banyak putusan hakim yang justru mengkebiri rasa keadilan dalam masyarakat, dimana putusan hakim tersebut dirasakan sering tidak berpihak pada kebenaran dan keadilan.
Keberpihakan putusan hakim yang cenderung merugikan rasa keadilan masyarakat tentu tidak bisa terlepas dari banyaknya pengaruh dan tekanan dalam proses peradilan. Pengaruh pemegang kekuasaan maupun pengaruh ekonomi merupakan salah satu alasan atau penyebab putusan hakim tidak berpihak pada yang benar. Jika putusan hakim sudah terkontaminasi dengan kepentingan – kepentingan ataupun motif lain, maka putusan hakim tersebut dapat dipastikan tidak akan memenuhi rasa keadilan masyarakat.
Tidak terpenuhinya rasa keadilan masyarakat tersebut, akan melahirkan ketidak percayaan masyarakat pada lembaga pengadilan dan hakim untuk menyelesaikan suatu permasalahan atau persoalan hukum yang mereka hadapi. Bentuk ketidakpercayaan tersebut dapat kita lihat dalam masyarakat kita diantaranya adalah main hakim sendiri terhadap pelaku kejahatan, penghinaan terhadap pengadilan, sampai kekerasan terhadap aparat penegak hukum, dan berbagai hal β hal lainnya.
Maka dari itu makna Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa adalah pedoman utama bagi hakim dalam mengambil setiap keputusan atau menjatuhkan putusan. Dalam penjelasan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan Peradilan dilakukan DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA adalah sesuai dengan Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menentukan bahwa negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Makna Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa itu tentu tidak akan pernah bisa terlepas dari pemahaman tentang keadilan itu sendiri. Didalam Undang -Undang Nomor 81 tahun 1981 tentang KUHAP di atur jelas dalam pasal 197 Ayat 1 Huruf a menyatakan Surat Putusan Pemidanaan Memuat β DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESAβ, dan Ayat 2 menyatakan Tidak terpenuhinya ketentuan dalam ayat 1 Huruf a,b,c,d,,e,f,h,j,k dan I dalam Pasal ini mengakibatkan Putusan BATAL DEMI HUKUM.
Makna kalimat tersebut haruslah benar-benar menjadi pedoman dan dasar setiap hakim dalam mengambil keputusan sebuah perkara yang ditangani. Memberikan putusan tentu tidak hanya dipertanggungjawabkan kepada pimpinan atau atasan saja, melainkan harus mampu dipertanggung jawabkan kepada masyarakat umum, agama, dan tentu saja kepada Tuhan Yang Maha Esa. Hakim sebagai salah satu elemen dalam Criminal Justice System, harus mampu membuat keputusan pengadilan yang seadil-adilnya.
Menurut Bismar Siregar (gegole,26 mei 2016), kata Demi bermakna sebagai kata sumpah bahwa apa yang diucapkan untuk dikerjakan itu mempunyai nilai tidak hanya bersifat lahiriah tetapi juga batiniah. Justru nilai batiniahlah yang sangat menentukan. Ketentuan adanya pencantuman kalimat tersebut tentu tidak hanya formalitas belaka namun menjadi dasar filosofis dalam setiap pengambilan keputusan.
Betapa mulianya posisi hakim dalam proses peradilan tentu sangat dibutuhkan seorang hakim yang memiliki integritas tinggi, loyalitas, dan tingkat keimanan yang tinggi pula. Seorang hakim harus juga memiliki kepribadian yang arif bijaksana dan tidak tercela, jujur, adil, profesional, memiliki atau ahli dalam bidang hukum. Hakim dalam menjalankan tugasnya, memikul tanggung jawab yang begitu besar, sebab keputusan hakim sangat berdampak pada pencari keadilan dan kepada Sang Pencipta.
Apabila keputusan hakim tidak tepat atau tidak adil maka dampaknya akan sangat luar biasa. Seorang yang benar akan mendapatkan hukuman dan sebaliknya seorang yang salah akan memperoleh kebebasan. oleh karena itu seorang hakim diharapkan harus mampu memberikan Putusan yang berpihak pada rasa keadilan itu. Namun sangat disayangkan banyak Putusan Hakim yang Menyimpang dari Kebenaran sehingga cermin rasa keadilan tidak dirasakan oleh mereka para pencari keadilan.
Terlepas dari hai itu tentunya Sebagai seorang manusia biasa, hakim pasti tidak bisa terlepas dari sifat dasarnya yang subyektif. Begitu pula dalam mengambil keputusan, hakim kadang-kadang dipengaruhi oleh sifat haus kekuasaan, egoistik, kemunafikan dan sifat-sifat buruk lainnya yang dapat memperburuk citra hakim itu sendiri. Inilah tantangan berat seorang hakim dalam menjalankan tugas dan kewajibannya.
Apabila berhasil mengalahkan sifat-sifat buruk tersebut, maka putusan-putusannya adalah putusan yang bernuansa keadilan dan apabila tidak berhasil, maka putusan-putusannnya tentu sangat bertentangan dengan rasa keadilan.
Dari ilustrasi diatas maka yang menjadi pertanyaan Penulis adalah bagaimana pertanggung jawaban seorang Hakim kepada Tuhan mana kalah Putusannya dibatalkan oleh Hakim Tinggi / Hakim Agung karna dinilai salah menerapkan hukum? atau mana kalah Putusan Hakim diinterfensi oleh hal lain sehingga menyebabkan Putusannya itu tidak mencerminkan rasa keadilan bagi para pencari keadilan?
Dimanakah Letak Pertanggung jawaban seorang Hakim Kepada Tuhan Sang Pencipta? Dan tentunnya hal demikian merupakan sebuah penurunan harkat dan martabat Sang Pencipta karna putusan yang tidak memberikan rasa keadilan yang mengatas namakan Tuhan Sang Pencipta, hemat Penulis secara batinia merupakan sebuah Pelecehan terhadap iman kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa Sebagai Sang Pencipta Kehidupan.
Dengan demikian Penulis mencoba memberikan sebuah solusi yang menurut hemat penulis lebih tepat diterapkan demikian apabila kepala putusannya Berbunyi : DEMI KEADILAN BERDASARKAN PANCASILA, karena tentunya dasar nilai-nilai Pancasila sebagai pedoman dan pandangan hidup bangsa serta sebagai sumber dari segala sumber hukum yang ada di Indonesia. Oleh karena itu penulis sedikit menggambarkan mengenai Makna dari ke lima sila dalam PANCASILA.
Sila Pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa; menuntut setiap warga negara mengakui Tuhan Yang Maha Esa sebagai pencipta dan tujuan akhir, baik dalam hati dan tutur kata maupun dalam tingkah laku sehari-hari. Konsekuensinya adalah Pancasila menuntut umat beragama dan kepercayaan untuk hidup rukun walaupun berbeda keyakinan.
Sila Kedua : Kemanusiaan yang adil dan beradab; mengajak masyarakat untuk mengakui dan memperlakukan setiap orang sebagai sesama manusia yang memiliki martabat mulia serta hak-hak dan kewajiban asasi. Dengan kata lain, ada sikap untuk menjunjung tinggi martabat dan hak-hak asasinya atau bertindak adil dan beradap terhadapnya.
Sila ketiga : Persatuan Indonesia; menumbuhkan sikap masyarakat untuk mencintai tanah air, bangsa dan negara Indonesia, ikut memperjuangkan kepentingan-kepentingannya, dan mengambil sikap solider serta loyal terhadap sesama warga negara.
Sila keempat Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawarahan/perwakilan; mengajak masyarakat untuk bersikap peka dan ikut serta dalam kehidupan politik dan pemerintahan negara, paling tidak secara tidak langsung bersama sesama warga atas dasar persamaan tanggung jawab sesuai dengan kedudukan masing-masing.
Sila Kelima, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia; mengajak masyarakat aktif dalam memberikan sumbangan yang wajar sesuai dengan kemampuan dan kedudukan masing-masing kepada negara demi terwujudnya kesejahteraan umum, yaitu kesejahteraan lahir dan batin selengkap mungkin bagi seluruh rakyat Indonesia. (*/ptr)