Bukit itu biasa saja seperti bukit-bukit lain di Kota Kupang. Kata cinta yang diletakkan pada bukit, entalah dari mulut siapa. Yang kutahu bukit itu selalu didatangi pasangan muda-mudi. Mungkin disini mereka memadu kasih. Sang kakek pernah bercerita di atas bukit itu ada beberapa benteng peninggalan Kompeni Belanda. Memang masih ada dan aku sering duduk di atasnya. Bukit itu keramat tapi tak pernah kudengar tembakan senjata dan letupan meriam. Juga jerit tangis suara magis. Darah kakek buyutku tumpah rua di sana.
Di atas bukit itu malah terbentang Padang nan luas. Kenapa tidak saja menyebut Padang Cinta karena begitu sering orang memajang diri di sana. kalau di sebut Padang Cinta, itu non sense.
Di tempat ini orang suka memamerkan diri pada alam. Menunjukkan ribuan gaya dihadapan kamera. Supaya dibilang narsis, anak zaman, mereka menyimpan ekspresi di dalam kartu memori sampai daya tampung penuh.
Sepasang kekasih duduk manis di atas batu sambil berpelukan. Aku melihat kesamping hanya Kapro (kakak paroki), yang bertopang jinggat seraya mengamati kemesraan mereka. Jangan pikir ku memeluknya.
“Pelukan itu pasti hangat. Nikmat seperti wafer coklat. Enak seperti TOP COFFE”, ungkap Kapro spontan. Aku tak ingin tahu maksud Kapro dengan perumpamaan itu. Mulut komat-kamit, menelan air liur. Ada apa?
“Kapro menunjuk seorang wanita yang sedang asyik memotret perarakan awan dengan kameranya. Mataku menangkap gadis itu. Memang gadis itu sungguh amat indah. Mengapa Tuhan membawanya bersama senja yang rapuh di depan mataku?” Aku hanya terkesima. tertegun kagum akan lukisan terindah senja ini. Dalam tenang, jiwaku menyerukan antifon sederhana yang selalu kudaraskan diawal hari saat memulai doa, cinta bergegaslah menolong aku. Kudengar suara lembut memanggil namaku, datanglah segera, aku disini. Langkahku tertahan tawa. Malu-malu. Kapro mencoba menghentikan aku.
“Tunggu, ia akan datang padamu”. Sergah kapro sentak membuyarkan keberanianku.
“kapro, wanita itu akan diambil malam. Lihatlah Pulau Kera di sana telah menelan matahari. Mungkin saja mereka menyimpan cahaya di dalam kamar untuk menyejukkan mata mereka. Tetapi aku tak mau cahaya mata gadis itu diambil orang.”
“Tenang..Tenang….. Wanita itu untuk Tuhan,” kapro menepuk pundak seakan meyakinkan pernyataan itu.
“Kapro…Kapro… Haruskah kita seperti Bangsa Israel menantikan kedatangan Mesias?” candaku.
Kemudian kami masing-masing merayakan diam. Sebab kata telah dienyahkan oleh mata. Aku membiarkan isi dada berpesta.
Wanita di Bukit Cinta itu sangat indah. Ia masih menanti matahari diambil tuannya. Setelah matahari diambil, ia hanya mengangguk melihat gambar yang diambil kamera. Mungkin ia mengamini sesuatu. Mungkin pula sudah waktunya ia akan pergi. “kapro, waktu yang tepat. Aku harus menghampiri dia.”
Aku mendekatkan langkah tanpa kata. Hanya denyut jantung yang terlanjur cepat berdetak. Gugup. Aku mencoba tenang, memasukan kedua tangan dalam saku samping dan berlagak sok elegan. Asap rokok sempoerna yang sedari tadi kuselipkan di antara barisan gigi kutitipkan pada angin. Mata kami terpaut ke arah yang sama, ke peraduan surya dibaringkan.
“Di sini aku selalu rindu memotret Tuhan” ungkapnya datar. “Setiap waktu Tuhan membiarkan diriNya di potret, mungkin saja matamu tak mampu melihat posisiNya, atau camera canon itu yang menyembunyikan Tuhan”, Balasku sambil terus memandang ke depan. Ke suatu titik yang tak seorangpun tahu. Ia tak memedulikan kehadiranku. Aku berharap ia memandang wajahku. Cukup satu tatapan. Belum sempat. Namun aku masih yakin suaraku tak berlari kemana-mana selain ke telinganya.
“Aku tak penah menyembunyikan Tuhan dengan kamera ini. Esok aku akan kembali, kembali untuk memotret Tuhan”. Ujarnya seolah terusik oleh ucapanku tadi.
“Aku telah melihat keindahan Tuhan disini, keindahan sempurna yang terkatakan oleh orang buta,” ungkapku tenang, memandang ke wajahnya sembari menghela napas panjang.
“Maaf, aku harus pulang Esok aku akan kembali kesini, aku ingin memotret dengan Tuhan. Kamu pasti anak Tuhan?” suara itu tenang, sedamai salam pertemuan yang tak sempat kuceritakan pada siapapun. Ia meninggalkan satu senyuman, satu pertanyaan. Lalu bergegas menghilang di sudut bola mataku.
Kapro menghampiri aku yang sedang cemas membungkus kedipan mata gadis itu. Ia merangkul aku dan menepuk-nepuk pundakku. “Gadis itu sungguh amat indah”. Kami sepakat gadis itu sungguh amat indah. (laris)