NTT-News.com, Tambolaka – Banyak terminologi berkaitan dengan kemerdekaan pangan. Beberapa di antaranya : Kemerdekaan pangan dapat berarti kemandirian pangan yang berakar dari keberlanjutan sumberdaya dan merupakan konsep kunci dari gerakan ketahanan pangan. Kemerdekaan pangan memiliki banyak makna dari solusi energi alternatif untuk membuat pilihan makanan yang lebih sehat dengan memanfaatkan teknologi, baik yang bersifat tradisional maupun kekinian.
Variabel-variabel kemerdekaan pangan bermula dari lahan, kemudian kebebasan sumber benih, pupuk, peralatan, kemudahan akses permodalan, kemudahan pascapanen dan akses pemasaran. Lahan yang merupakan modal sangat penting dalam kemerdekaan pangan adalah mutlak keberadaannya. Lahan-lahan subur mesti ada dan wajib diproteksi oleh semua pihak, terlebih di era global. Dimana serbuan land grabbing oleh investor multi national corporate atas nama investasi dan pertumbuhan berlangsung massive. Tidak akan ada kemerdekaan pangan tanpa penguasaan lahan.
Harus diakui bahwa di negeri-negeri tropis menyimpan keragaman hayati yang sangat tinggi dimana manfaatnya sangat beragam. Ia bisa untuk sumber : pangan (food), pakan (feed), pupuk (fertilizer), bahan bakar (fuel), obat-obatan (pharmacy). Keragaman hayati yang melimpah hendaknya disyukuri, karena itu berarti Tuhan Yang Maha Esa “lebih senang berkreasi” di negeri-negeri beriklim tropis. Meski demikian selain negeri tropis, daerah panas juga akan sangat menjanjikan apabila benar-benar diperhatikan tanaman pertanian yang cocok dengan daerah itu.
Di Sumba Barat Daya mewujudkan kesejahteraan bagi para petani merupakan suatu tantangan. Banyak hal yang perlu dilakukan dalam pewujudannya, seperti meningkatkan hasil pertanian, mulai dari prosedur tanam cara penjualan, yang mana keefektifan proses tanam akan mengoptimalkan biaya dan peningkatan hasil pertanian yang berkualitas.
Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Sumba Barat Daya, melalui Kepala Bidang Tanaman Pangan dan Hortikultura Marselinus S. R. Lette mengatakan bahwa sektor pertanian Kabupaten Sumba Barat Daya alokasi anggaran sumber APBD II sangat terbatas meski pada tahun 2021 direncanakan untuk 300.000 Hektare (ha) lahan jagung. Di tambah dengan bantuan dari pusat awal 18.500 ha untuk memenuhi kebutuhan 11 kecamatan di Kabupaten Sumba Barat Daya. 48,5 ribu ha.
Namun seiring berjalannya waktu terjadi recofusing anggaran di kementrian, sehingga dari 18 ribu hanya terealisasi 5000 ha. Recofusing anggaran diikuti dengan kehadiran corona virus varian baru atau varian delta sehingga hanya terealisasi 5.000 ha dengan kisaran 75 ton benih yang belum disalurkan. Dari 75 Ton benih, saat ini masih sementara dalam tahapan uji laboratorium.
“Masih menunggu uji laboratorium. Kalau memang hasil uji laboratorium membuktikan layak untuk ditanam, baru kita salurkan kepada masyarakat petani di Sumba Barat Daya,” ujar Marsel ketika media ini bertandang ke ruang kerjanya belum lama ini.
Namun dia menjelaskna bahwa dari 75 ton bibit jagung tersebut tidak mampu mencover 11 Kecamatan di daerah ini, sehingga hanya bisa disalurkan di tiga kecamatan, yakni Kodi Utara, Loura, Wewewa Barat. Sementara 8 kecamatan lainnya tidak dapat terlayani.
Untuk mengatasi hal tersebut, Dinas Pertanian sedang berusaha menggait investor jagung yang memiliki program menumbuhkan iklim jagung di Sumba Barat Daya atau ekosistem jagung seperti pola yang diterapkan di Dompu dan di Propinsi Jawa Timur. Dinas Pertanian telah berhasil mendatangkan investor jagung tersebut di Kabupaten Sumba Barat Daya dan telah menandatangani MoU, investor tersebut untuk tahap awal ini di tahun 2021 dinas pertanian bersama petani akan menyediakan 1.000 ha lahan tempat investai dari pihak ketiga ini. Dinas Pertanian Kabupaten SBD ini sedang berusaha membangun iklim jagung di SBD tanpa harus menunggu uang negera tetapi menggunakan uang dari investor.
Meskipun membebankan investor dari sisi investasi modal, tetapi Dinas Pertanian bersama Bupati Sumba Barat Daya dr. Kornelius Kodi Mete dan Wakil Bupati SBD, Marthen Christian Taka mencoba meminimalisir resiko usaha antara petani dan pihak investor dengan cara investor meminjamkan bibit dan pupuk serta segala obat-obatan, lalu petani mengolah lahan serta menanami bibit. Petani berutang kepada investor, dan investor wajib membeli jagung dari lahan petani dengan harga terendah sebesar Rp.3.200 per Kg.
“Proses investasi jagung dilakukan dengan meminjamkan benih jagung dan pupuk ke petani untuk ditanam. Pada musim panen, investor wajib membeli hasil panen dengan harga minimal Rp.3.200.00 walaupun hasil panen tidak memenuhi target. Setelah investor membeli hasil panen, maka akan dipotong biaya benih dan pupuk, sedangkan lebihnya akan diserahkan kepada petani. Sementara harga benih dan pupuk akan disepakati sebelum melakukan penanaman atau pada saat eksen,” Marsel.
Menurutnya bahwa Dinas Pertanian menggunakan sistim pinjam benih dan pupuk dari investor jagung guna memperkuat ikatan antar petani. Selain itu, peminjaman benih jagung dan pupuk dilakukan dengan cara cash bon. Sehingga pada saat memanen baru di lunasi oleh petani.
Sementara patokan harga jual jagung yang tidak stabil akan disesuaikan, namun harga terendah yang disepakati dengan sebuah surat MoU harus menjadi harga beli terendah dari investor. Harga tersebut diyakini bahwa permainan harga tak lagi menguasai SBD, melainkan harga pasti yang membawa masyarakat pada pintu kemerdekaan pangan dan ekonomi keluarga.
“Jadi petani tidak lagi merisaukan harga yang selama ini tidak menentu karena dimainkan oleh para tengkulak. Maka pada dasarnya, petani tidak diharapkan untuk memikirkan harga pasar lagi melainkan fokus pada produksi jagung tersebut,” jelasnya.
Dia juga mengatakan bahwa Dinas pertanian menggenjot benih jagung hibrida premium dikarenakan hasil produksinya lebih tinggi dibandingkan jagung lokal. Dengan kehadiran jagung hibrida kelas premium pilihan ini, dapat mengubah cara berpikir masyarakat tentang jagung yang tidak hanya untuk kebutuhan konsumsi tetapi juga untuk kepentingan bisnis.
“Banyak petani yang memiliki lahan jagung yang luas tidak mau menanam benih jagung hibrida dikarenakan konsep bisnis yang belum maksimal. Sebab petani masih memikirkan kebutuhan pangan jangka panjang. Petani jagung Sumba pada umumnya masih berpikir menggunakan pola lama, dimana menanam jagung hanya untuk mengisi loteng (tempat menyimpan stok makanan). Sehingga, selama menggeluti pekerjaan sebagai petani jagung hanya berpikir pada kesediaan pangan, dan tidak memikirkan bagaimana pertumbuhan ekonomi dalam rumah tangga,” bebernya.
Pemerintah Kabupaten Sumba Barat Daya, lanjutnya, menghadirkan investor di daerah ini untuk berinvestasi kepada petani dengan sistim cash bon adalah startegi baru bagaimana masyarakat untuk berpikir bagaimana jagung yang selama ini dibudidyakan hanya untuk kepentingan makan, maka kedepan tidak hanya sebatas untuk kebutuhan makan tetapi kebutuhan untuk meningkatkan pendapat ekonomi keluarga.
“Suatu waktu jika kerjasama ini dimanfaatkan dengan baik oleh masyarakat kita, maka Sumba Barat Daya bisa menjadi salah satu daerah pemasok Jagung yang besar seperti daerah lain di Indonesia. Inilah yang dimaksudkan dengan mandiri pangan untuk mandiri secara ekonomi. Potensi masyarakat kita yang mayoritas sebagai petani membuka peluang besar untuk keluar dari kemiskinan secara ekonomi dan sosial budaya,” tandas Marsel. (*rey/Advertorial)