Pada akhir tahun 2019, kita semua dihebohkan dengan munculnya wabah penyakit di kota Wuhan, China. Wabah ini berasal dari virus yang kemudian kita kenal sebagai coronavirus disease 2019 atau covid-19 (Ardi Priyatno Utomo, https://internasional.kompas.com/read/2020/02/11/23170631/who-umumkan-nama-resmi-untuk-virus-corona-covid-19, akses 24 Februari 2021). Covid-19 diidentifikasi sebagai jenis virus baru dan menyerang sistem pernapasan serta kekebalan tubuh manusia. Mereka yang terjangkit akan merasa lemas dan daya tahan tubuh yang menurun sangat drastis. Sebagai jenis virus baru, sudah tentu belum ada obat yang pasti untuk menyembuhkan mereka yang terjangkit.
Melihat penyebaran yang begitu cepat, Pemerintah China mengambil keputusan untuk menutup akses masuk dan keluar kota Wuhan. Hal ini terpaksa dilakukan demi menekan angka penyebaran virus. Usaha penutupan demi pencegahan ini boleh dikatakan terlambat karena ternyata pada awal tahun 2020 virus ini telah menyebar hingga ke berbagai negara. Perlu diketahui bahwa penyebaran yang begitu cepat bukan hanya karena keterlambatan penutupan akses melainkan juga adanya kesulitan dalam pendeteksian awal terhadap penderita (Mela Armani, https://www.kompas.com/tren/read/2020/12/17/104000665/kaleidoskop-2020–penelitian-soal-awal-mula-virus-corona-di-berbagai-negara?page=all, akses 24 Februari 2021).
Salah satu negara yang menderita akibat covid-19 adalah Indonesia. Di Indonesia sendiri kasus positif covid-19 untuk pertama kali ditemukan pada bulan Maret 2020 (http://www.padk.kemkes.go.id/article/read/2020/03/24/17/berita-positif.html, akses pada 24 Februari 2020). Ditemukannya kasus positif covid-19 membuat banyak orang bertanya-tanya. Sejak kapan virus tersebut masuk ke Indonesia? Sudah sejauh mana penyebaran covid-19 di Indonesia? Apakah kita yakin bahwa yang terinfeksi benar-benar hanya satu orang? Pertanyaan-pertanyaan ini tentu tidak mudah dijawab sebab memang kita tidak tahu pasti kapan virus masuk, sejauh mana penyebarannya dan siapa saja yang telah terinfeksi. Pemerintah hanya dapat menghimbau agar masyarakat segera memeriksakan diri jika merasa mengalami gejala covid, terutama bagi mereka yang baru pulang dari luar negeri.
Baik di Indonesia maupun negara-negara lain, ternyata penyebaran covid-19 semakin hari semakin mengkhawatirkan. Setiap harinya kasus bertambah dengan sangat cepat. Menyadari bahwa virus ini susah dikendalikan, setiap negara membuat keputusan demi melindungi warganya dari infeksi covid-19. Ada negara yang memutuskan untuk menutup total aktifitas dalam negaranya serta menutup akses dari dan ke luar negeri, ada juga yang sekedar membatasi aktifitas warganya di luar rumah secara ketat. Indonesia sendiri membuat keputusan untuk membatasi aktifitas warganya di luar rumah, melarang kerumunan dan lain sebagainya.
Telah diungkapkan di atas mengenai langkah yang diambil oleh pemerintah Indonesia demi menekan penyebaran covid-19. Setiap keputusan tentu memiliki dampak tertentu, demikian halnya dengan keputusan pembatasan aktifitas di luar rumah. Banyak aspek kehidupan masyarakat yang terkena dampak, salah satunya adalah kehidupan beribadah. Sempat terjadi tempat peribadatan di tutup total untuk umum. Umat dihimbau untuk beribadah di rumah saja. Memang kini penutupan total telah mulai dibuka kembali, namun dengan tetap memperhatikan berbagai prosedur. Gereja Katolik sebagai salah satu agama yang resmi diakui di Indonesia pun menerapkan hal yang sama. Kita dapat melihat di berbagai tempat hingga kini baik Lansia maupun anak-anak “dilarang” untuk mengikuti ibadah atau misa di Gereja.
Penutupan, pembatasan maupun pelarangan berbagai aktifitas oleh pemerintah ternyata mengakibatkan masyarakat tinggal dalam ketakutan. Khususnya bagi umat beriman, mereka merasa iman sedang diuji. Tidak sedikit juga orang-orang yang mengaku bahwa mereka mengalami kekeringan iman. Akibat dari kekeringan iman ini, orang-orang seakan kehilangan harapannya. Harapan tertinggi oleh iman yang biasa mereka dapat dan rasakan kini tergerus oleh karena kekeringan iman yang dialami. Pengalaman kekeringan iman dan kehilangan harapan ini juga turut memicu sikap acuh tak acuh terhadap sesama.
Melihat berbagai situasi yang sedang berkembang, Paus Fransiskus selaku Pemimpin Tertinggi Gereja Katolik di seluruh dunia mencoba memberikan penguatan serta peneguhan bagi masyarakat global, khususnya umat Katolik. Peneguhan dan penguatan tersebut tertuang dalam Pesan Prapaskah 2021 oleh Sri Paus yang dikeluarkan pada tanggal 11 November 2020 (karyakepausanindonesia.org). Pesan Paus ini menggarisbawahi tiga hal, yakni Iman, Harap dan Kasih. Paus merasa bahwa masa prapaskah menjadi momen yang tepat bagi umat beriman untuk memperbarui iman, harap dan kasih. Pesan yang dikeluarkan tergolong singkat, namun memiliki makna yang mendalam. Akan tetapi tentu menjadi pertanyaan, apakah pesan tersebut sungguh tersampaikan? Bagaimana seharusnya umat beriman memaknai pesan tersebut di tengah pandemi covid-19 yang masih mengkhawatirkan? Untuk menjawabi pertanyaan ini, kita perlu melihat pesan ini secara berkaitan meskipun tetap harus mengkajinya poin demi poin.
Iman
Paus Fransiskus menekankan iman memanggil kita untuk menerima kebenaran serta memberikan kesaksian terhadapnya di hadapan Allah dan semua saudara-saudari kita. Paus mengungkapkan iman yang benar dan seharusnya adalah menerima dan menghayati pewahyuan Allah. Prapaskah dipandang sebagai kesempatan untuk kembali menyambut Allah dalam hidup kita dan memperkenankan Dia untuk berdiam dalam kita (bdk. Yoh. 14:23). Dalam hal ini kita dapat melihat bahwa beriman membutuhkan juga kesiapan dan peran dari manusia.
Dalam konteks pandemi covid-19 yang menjadi permasalahan adalah tergerusnya keberimanan. Ketergerusan dan kekeringan ini ditengarai karena keputusasaan dalam menghadapi pandemi yang berkepanjangan. Situasi ini semakin diperparah dengan pembatasan bahkan pelarangan dalam mengikuti perayaan ekaristi sebagaimana diungkapkan oleh Ibu Asteria dalam kesempatan virtual meeting dengan penulis (17 Februari 2021). Selain ketergerusan iman, kita juga dapat menemukan keberimanan yang hampa atau kosong. Kehampaan yang dimaksud adalah bagaimana orang mengaku beriman namun hanya pasrah tanpa adanya tindakan nyata. Padahal kita tahu, iman tanpa tindakan nyata sesungguhnya mati (bdk. Yak.2: 14-26).
Berangkat dari pesan Paus Fransiskus serta realitas yang sedang kita hadapi saat ini, saya mengajak para pembaca sekalian untuk bertindak sebagai agen-agen pewarta. Sebagai agen-agen pewarta, kita hendaknya tidak melulu membicarakan iman dan melupakan tindakan nyata. Iman harus diwujudnyatakan melalui tindakan nyata. Dalam konteks covid-19, kita perlu menekankan bahwa tindakan menerapkan protokol kesehatan 5M secara ketat merupakan wujud nyata dari keberimanan kita. Iman menguatkan dan meyakinkan kita dari dalam diri bahwa dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat, pandemi covid-19 akan dapat kita lalui. Dengan kata lain, iman dan tindakan nyata harus senantiasa dijalankan secara bersamaan.
Harap
Poin kedua dari pesan Paus Fransiskus adalah harapan. Paus mendasarkan pesannya pada peristiwa Yesus meminta air kepada perempuan Samaria di Sumur Yakub. Kepada si perempuan, Yesus menjanjikan air hidup (bdk. Yoh. 4:10). Air hidup yang dimaksud ialah Roh Kudus yang akan membawa pada keselamatan kekal. Paus tidak memungkiri bahwa di tengah pandemi, membicarakan harapan merupakan hal yang amat menantang. Namun demikian, beliau menekankan bahwa harapan senantiasa tersedia bagi segenap umat manusia.
Telah diungkapkan di atas bahwa membicarakan harapan di tengah pandemi covid-19 merupakan hal yang menantang, dan begitulah kenyataannya di tengah masyarakat. Topik harapan seakan menjadi angin yang dapat berlalu begitu saja. Banyak umat beriman merasa bingung bagaimana dan di mana harus menggantungkan harapannya. Pandemi covid-19 seakan merenggut harapan umat beriman dalam berbagai sisi kehidupan (Yuven, sharing melalui zoom meeting, 20 Februari 2021). Kehilangan harapan dan keputusasaan yang muncul akibat pandemi covid-19 ini bahkan tidak jarang menghantar manusia ketaraf depresi.
Membiarkan umat tinggal dalam suasana depresi dan kehilangan harapan tentu bukanlah suatu sikap yang diharapakan. Sebagai agen pewarta, saya mengajak kita sekalian untuk turut berperan aktif dalam menumbuhkan kembali harapan yang mungkin telah sempat layu. Kita diajak untuk melihat bahwa harapan yang dari Allah sesungguhnya dapat ditemukan dalam kenyataan hidup sehari-hari. Dengan terlebih dahulu mampu melihat harapan yang dimaksud, kita tentu akan lebih mudah meyakinkan orang lain untuk tetap tiggal dalam pengharapan.
Lantas bagaimana memaknai harapan di tengah Prapaskah dan covid-19? Salah satu cara memaknainya adalah dengan memandang masa pandemi covid-19 sebagai masa Prapaskah. Seperti kita ketahui, bahwa disetiap penghujung masa Prapaskah selalu ada masa Paskah, masa kebangkitan dan kejayaan. Dengan memandang masa pandemi covid-19 sebagai masa prapaskah, kita diajak untuk mampu melihat dan mewartakan bahwa pada akhirnya kita akan menemukan masa kebangkitan, kejayaan dan kemenangan dari pandemi covid-19.
Tanda-tanda datangnya masa kejayaan atau kebangkitan yang paling nyata saat ini adalah ditemukan dan dimulainya proses vaksinasi nasional. Proses vaksinasi yang tengah berlangsung harus dipandang sebagai proses menuju kebangkitan. Proses ini harus dipandang juga sebagai jawaban atas pengharapan dari setiap manusia yang tiada henti. Kita tentu harus mengapresiasi usaha dari berbagai pihak untuk turut serta menjaga serta menumbuhkan pengharapan dalam diri setiap manusia.
Kasih
Dalam pesan prapaskahnya, Paus Fransiskus sangat menekankan dimensi solidaritas dalam hal perwujudan kasih. Kasih berarti menderita bersama yang menderita serta bergembira bersama mereka yang bergembira. Dengan kata lain, kasih mengundang kita untuk turut serta merasakan apa yang orang lain rasakan seraya tetap memberi penguatan, peneguhan dan penghiburan. Kasih menjadi puncak Iman dan Pengharapan.
Meskipun tampak mudah, namun ternyata untuk mengimplementasikan kasih dalam kehidupan nyata terkadang menemui kendala. Di tengah pandemi covid-19 misalnya, ketika kita berusaha mewujudnyatakan kasih dengan berusaha bersolider, justru kita menemukan orang-orang yang tidak ingin bersolider. Dalam hal menggunakan masker serta menjauhi kerumunan, ketika kita berusaha menjalankannya dengan tertib, kita justru sering dikecewakan oleh orang-orang yang tampak acuh tak acuh dan melanggar berbagai aturan protokol kesehatan yang telah ditetapkan. Hal ini menunjukkan bahwa dalam mewujudkan kasih, kita akan senantiasa menemukan tantangan (Lorens, sharing melalui zoom meeting, 22 Februari 2021).
Melihat kenyataan yang terus terjadi, kita tentu tiba pada pertanyaan bagaimana kita mewujudkan kasih yang dimaksud oleh Paus Fransiskus jika orang lain ternyata tidak peduli dengan apa yang sedang kita usahakan? Untuk menjawabi pertanyaan ini, kita diajak untuk memahami esensi dari kasih. Kasih dapat kita golongkan dalam tiga tingkatan yakni kasih eros (mengasihi sebatas memandang fisik), kasih filia (mengasihi hanya karena adanya hubungan), dan kasih agape (mengasihi tanpa mengenal batas ruang dan waktu, bahkan sampai pada pengorbanan diri). Paus Fransiskus dalam hal ini mengajak kita untuk sampai pada kasih agape.
Mewujudkan kasih agape memang bukanlah perkara yang mudah. Kita dituntut untuk mau dan mampu mengorbankan kepentingan diri bahkan terhadap mereka yang tidak kita kenal. Kasih agape menuntut kita untuk mampu meneladani Yesus yang telah mengorbankan diri-Nya dengan sengsara dan wafat di salib demi menebus dosa-dosa kita. Sebagai pewarta, saya mengajak para pembaca untuk tidak melulu melihat hubungan timbal balik, sebab kasih agape sama sekali tidak mengharapkan balasan. Kasih agape adalah pemberian diri yang total.
Pada masa pandemi ini, menerapakan protokol kesehatan tanpa melulu melihat apa yang orang lain lakukan adalah suatu tindakan kasih. Untuk dapat mempengaruhi orang lain agar sampai pada tahap kasih agape sesungguhnya harus dimulai dengan tindakan nyata dari dalam diri kita masing-masing. Kita pun diajak untuk memandang sesama sebagai saudara sehingga kita tidak menemukan sekat pemisah untuk memberikan perhatian. Sebagai pewarta, kita hanya akan mampu meyakinkan orang lain jika mereka telah melihat kita melakukan hal yang sama terlebih dahulu. Dalam hal inilah gunanya komunikasi yang intensif dijalankan.
Melihat dari berbagai uraian di atas, kita diajak untuk menyadari bahwa sesungguhnya memaknai prapaskah di tengan pandemi covid-19 seharusnya dapat dilakukan secara lebih mendalam. Masa prapaskah di tengah pandemi juga menjadi momen yang tepat bagi kita untuk mengintrospeksi diri, sejauh mana kita telah mampu berbuat dan sejauh mana kehadiran kita mampu memberi dampak yang postitif bagi orang-orang di sekitar kita. Kita tidak boleh berhenti hanya pada taraf simpati, melainkan harus sampai pada taraf empati.
Pandemi covid-19 yang berlarut tidak dipungkiri telah membawa kita ke taraf kejenuhan dan kekringan spiritual. Namun sesungguhnya jika kita melihat lebih mendalam, pandemi covid-19 dapat menghantar kita pada pembaruan spiritual dan semakin meningkatkan keberimanan kita. Sebagai agen pewarta, saya mengajak kita sekalian untuk mampu mengubah keadaan yang kita alami sekarang ini dari sikap pesimis kepada sikap yang penuh pengharapan. Sebagai orang-orang beriman kita tentu tidak ingin berhenti pada meratapi keadaan, namun harus mampu keluarg dari keadaan. Kita juga diajak untuk mampu membantu mereka yang jatuh akibat pandemi untuk bangkit kembali dan melihat masa depan dengan penuh Iman, Harap dan Kasih.
(Oleh Bastian Panjaitan. Mahasiswa Semester VIII, Fakultas Filsafat Universitas Katolik Widya Mandira. Tulisan ini dibuat sebagai hasil dari KKN-PPM yang diikuti oleh penulis, yang dicanangkan oleh Universitas Katolik Widya Mandira Kupang).
Lorens M