Sang rembulan seakan lagi tak membendung hasrat membagi relung di hatiku, bersimpati pada setiap insan bumi. Perlahan melangkah dan mengayuh menelusuri setiap dedaunan jagung yang sudah mulai tinggi, berbunga dan berbuah. Membagi secercah harapan pada insan manusia yang menanti di bawah payung langit.
Dingin tak lagi menjadi rintangan bagiku untuk berimajiner tentang sosok seorang gadis desa yang mampu memikat hati. Jiwaku bagaikan pohon yang dingin nan kuat memiliki akar-akar mencengkram sampai ke kedalaman bumi. Mempunyai cabang dan ranting menjulang tinggi tanpa batas.
Jiwaku berbunga- bunga bagaikan bunga di musim semi. “Akh, andaikan aku tak berjumpa dengan gadis bergingsul, berparas indah, memiliki senyuman manis, mungkin aku tidak berimajinasi, bagaikan sosok gembala yang mencari domba yang hilang, seperti jiwa yang haus dan dahaga mencari sumber air cinta”. Gumamku dalam hati.
Saksi bisu langit biru, bintang bertebaran seakan menyambut, menemaniku dalam kesendirian malam yang berimajinasi tentangmu.
“Febiola!.” Andai kau tahu isi hatiku, pasti kau tak membiarkanku merana. ”Gadis ginsul, pemikat hati”. Dengarkanlah bisikan hati yang terus berfantasi menghdirkan senyumanmu yang mengalihkan duniaku dari suatu ketiadaan menjadi ada yang sempurna.
Wajahmu yang indah dan senyumanmu yang manis, sungguh membuatku tak sanggup menahan rasa kagum akan dirimu, aku yakin bahwa senyumanmu membuat setiap insan terkesima bukan cuma aku yang mengagumimu. Aku hanya salah satu bukan satu-satunya yang terpesona dan terkesima akan sosok indahmu.
Aku ingat akan perjumpaan kita di siang hari di rumah mu yang cukup megah itu, di suatu waktu yang tidak disengajakan. Aku mengamini sebuah pernyataaan dari seorang ilmuwan terkenal Alberth Einstein yang mengatakan bahwa “pertemuan antara insan yang satu dengan insan yang lain itu bukanlah suatu kebetulan tetapi sudah digariskan oleh yang Maha kuasa”.
Memang waktu kita terlalu singkat untuk bertemu dengan dirimu, tetapi aku menikmatinya, walau kadang mungkin kamu melihat ku harus tersipu malu ketika mata kita saling beradu pandang.
Sebab Mata kita adalah jendela menuju pelataran hati yang tersimpan sejuta makna tentang hasrat yang membara untuk mengukir nama, keindahan dan manisnya senyumanmu yang menggugurkan kegelisahan yang sempat bercokol di hati.
Mata kita saling beradu pandang disaat kita bercerita bersama beberapa insan manusia di rumah itu, aku tersentuh akan pandangan itu, seakan aku ke ekstase yang lebih tinggi, di temani senyuman manis di barisan gigi gingsulmu, manis aku terpesona Febiola.
Seusai pertemuan di rumah mu itu, aku merasakan keindahan Tuhan dalam keluargamu. Kesempurnaan Tuhan yang sulit kujelaskan bagaikan susunan alfabetis yang tak pernah selesai jika kutorehkan kedalam kertas putih yang tak bermakna ini.
Ungkapku tenang di dalam hati, mencuri pandang ke wajahmu sambil menghela nafas yang panjang. Langkah kakiku seakan terasa berat, untuk pamit dari rumahmu dan keluargamu, sungguh kehangatan cinta dari keluarga dan dirimu membuatku semakin ingin berimajinasi dengan khayalku tentang dirimu dan sejuta keindahan dari dirimu.
Dalam perjalanan kembali ke rumah ku mulai ceritakan nama dan senyumanmu pada salah seorang sahabat terbaikku, yang pasti ia menyetujui atau hanya menikmati apa yang tertanam di hatiku!
Ah…..itu bukan urusanku aku lebih memilih menikmati setiap keindahan yang kamu pancarkan.
Malam yang semakin larut serta dingin yang semakin mencekam membuatku ingin rasanya berjumpa lagi denganmu pada esok hari nanti.
Sambil terbaring di tempat tidur aku mulai menghitung jarum jam yang berputar yang terpajang pada dinding kamar kos ku yang berukuran 4×4, setiap angka pada jarum jam menertawakan kegelisahanku, seperti jarum jam menunjuk angka, pikiranku pun selalu terurai tentang dirimu gadis berginsul berparas manis yang mampu membuatku hanya bisa mendegungkan suatu pujian.
Bersambung ke Part II…
Oleh : Laris Mataubana