NTT-News.com, – Dijalan itu saya melihatnya sedang duduk. Disekitar pelatarannya berserakan sampah-sampah. Meskipun bertelanjang dada, tapi tawa bahagia tak pernah terusik dari bibirnya. Memang demikian, terbukti kalau manusia miskin empati. Apalagi melihat sampah-sampah berserakan, itu pertanda kalau kita tidak punya empati terhadap lingkungan dan alam.
Di pertigaan jalan terdapat sebuah bak sampah berbentuk persegi, salah satu bagian sisinya telah roboh dan entah apa penyebabnya, akibatnya sampah-sampah yang dibuang ke bak itu menjadi bertaburan kemana-kemana.
Oh iya saya baru ingat di samping bak sampah itu, saya melihatnya. Ketika lebih dekat dengannya, saya melihatnya sedang menikmati makanan dalam sebuah kantung plastik kusam, yang mungkin baru saja diambilnya dari bak sampah itu. saya tidak melihat jelasnya apa yang ia makan.
Tapi yang membuat saya bertanya-tanya, dalam benak mengapa ia tidak sadar, kalau makanan itu sudah tidak sehat. Ia juga tidak merasakan sesuatu. Hemat saya tubuh orang itu tentu tidak sehat lagi karena jiwa dan pikirannya terbang jauh melampaui cakrawala menikmati keindahan semesta yang menurutnya amat luar biasa, sehingga apapun yang ia lihat dan nikmati pasti selalu terasa nikmat.
Hawa panas sangat terasa saat matahari berada persis di atas kepala pada posisi seratus delapan puluh derajat. Saya dan Frid terus melewati tempat itu dengan sepeda motor. Kami pergi membeli besi siku untuk membuat meja. Saat kembali, di samping bak sampah tadi, orang itu sudah tidak ada. Saya sangat miris melihat kejadian tadi. Bagaimana bisa ia melakukan itu?.
Orang itu mirip dengan anak-anak yang saya lihat di setiap perempatan jalan lampu merah. Anak-anak itu menggendong berbundel-bundel Koran lalu menjajakannya pada rang-orang yang berhenti di saat lampu merah. Mereka adalah anak-anak kecil yang sebenarnya belum pantas bekerja apalagi di tempat keramaian yang amat sangat beresiko.
Seperti seorang anak perempuan bertubuh kurus dan berambut pirang menawarkan korannya pada kami. Itu kira-kira pukul 19.25 saat dalam perjalanan ke rumah mengambil pakaian ganti. Dengan suara kecil, dan wajah murung dia menawarkan korannya, katanya “Pa.. Koran Pa…” tapi tidak ada seorangpun yang membeli.
Sorot matanya berkaca-kaca. Di balik ekspresinya itu sebenarnya menggambarkan dirinya yang sedang dalam situasi resah dan ia sangat mengharapkan bantuan orang lain. Demikian juga dengan teman-temannya yang lain, meskipun tak beralas kaki namun sangat bersemangat, mereka dengan suara lantang berteriak “Koran!!! Koran…….!!!.
Malam itu udaranya hangat dan langit terang, karena bulan turun lebih dekat ke bumi. Gemuruh riuh perkotaan sangat membisingkan. Ditambah dengan pesta kembang api yang dimainkan oleh saudara-saudari etnis cina sebagai klimaks dari hari raya mereka.
Pada hari itu, Saya melihat dua populasi hidup yang amat berbeda jauh. Dan Saya amat beruntung karena berada pada posisi madya. Malam itu ketika mau tidur, sebersit pikiran kembali muncul mengganjal tidur saya. Berupa pernyataan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri, itu saya pernah membacanya di dalam kitab suci.
Dan apakah si orang tua yang saya lihat tadi di sebelah bak sampah dan anak-anak yang berlahan dijalan-jalan, mereka tidak pantas dikasihi? Itu juga pasti yang sering mereka pikirkan. Siapa yang akan mebantu mereka keluar dari lingkaran keresahan ini ?
Anak-anak itu wajah mereka seperti magnet, yang akan menarik setiap orang untuk memandangi mereka, mata mereka berkaca-kaca mendambakan kebebasan. Andaikan masih ada orang yang rela menampung mereka dan mau menanggung biaya hidup dan juga biaya sekolah mereka, pasti meraka sangat bahagia.
Karena yang mereka butuhkan bukanlah simpatisan saja, namun yang amat sangat mereka butuhkan adalah empati konkrit yang dapat melepaskan jiwa-jiwa mereka yang sementara terbelenggu, serta bisa menjaga kelestarian angan-angan mereka.
Kalau saja hidup ini tidak berkotak-kotak dan juga tidak mementingkan hasrat individu tetapi sebaliknya hidup untuk kepentingan bersama serta saling memperhatikan, tak memandang suku, ras dan budaya maka pola hidup ke-Bhineka-an akan benar-benar menjadi dasar falsafah yang akan membawa kesejahteraan.
Intinya adalah mematikan hasrat individualsime dan sebaliknya menjaga kesuburan pertumbuhan solidaritas sosial supaya tidak ada orang yang termarjinalkan tetapi semuanya menjadi harmoni. Dengan demikian jiwa-jiwa itu akan terbebas dan anak-anak itu esoknya akan jadi pionir-pionir negeri ini. (N2)
By. Alto Faot
———————————The End———————————–