News

Tangkal Ajaran Ekstrim dengan Jadikan Keluarga Sebagai Sekolah Terbaik

×

Tangkal Ajaran Ekstrim dengan Jadikan Keluarga Sebagai Sekolah Terbaik

Sebarkan artikel ini
Beny Daga
Beny Daga

(Sebuah pemikiran kecil soal konsep deradikalisasi berbasis keluarga)

Non scholae, sed vitae discimus — “Kita belajar bukan untuk sekolah melainkan untuk hidup” — Tiba-tiba melintas dikepala saya soal kosa kata latin ini, yang diajarkan oleh salah seorang guru pastor (alm) Rm. Crispinus V. Riberu saat duduk di Seminari Menengah (Sekolah Calon Imam) belasan tahun silam.

Pepatah latin yang dipopulerkan oleh Seneca, seorang filsuf sekaligus pujangga Romawi masa itu cukup untuk menggambarkan bahwa yang terpenting dari pendidikan itu bukan soal seberapa banyak kita melewati grade dan mampu menyandang seberapa banyak gelar dalam sistem akademik yang kita lewati, tetapi bagaimana kita membuat pendidikan itu menjadi hidup, berisi dan memiliki nilai – nilai yang tepat guna untuk diaplikasi dalam rutinitas kita secara manusiawi dan holistik.

Gambaran peristiwa teror bom di sejumlah wilayah di Indonesia yang banyak memakan korban bisa kita pahami dari aspek ini. Bahwa jika sekolah, pendidikan dan hidup tidak berbanding lurus artinya ketika seseorang terjebak dalam pola pikir, sekolah hanya sebatas aturan kemudian pendidikan hanyalah urusan angka – angka maka esensi dari sekolah dan pendidikan untuk hidup tidak akan tercapai, hidup tidak memiliki isi dan mudah rapuh, hidup akan tercemar beragam persoalan sosial yang sangat complicated dan ruang – ruang ekspresi kita akan mudah dibanjiri oleh ajaran atau aliran sesat yang terkoneksi langsung dengan rutinitas kita hingga moral, etika dan sisi baik kita tergerus oleh perlakuan kejam, keji, jijik dan mematikan.

Jika kita perhatikan secara jernih para pelaku bom bunuh diri atau akrabnya disebut gerombolan teroris yang nekat melakukan aksi ‘amalia’ yang saya kira juga keliru dalam ajaran agamanya, bukanlah orang – orang biasa dalam konteks pengetahuan dan pemahaman soal hidup ( agama dan pendidikan ). Kelompok teroris ini punya pengetahuan yang memadai mulai dari bagaimana caranya membangun jaringan, bagaimana mempraktekan pola perekrutan yang tertata, bagaimana mengembangkan kemampuan IT yang handal bahkan bisa merakit bom hingga memperkuat kontra intelijennya dengan diperkaya paham dan doktrin sesat mematikan berlabel jihad. Ini menunjukan kepada publik bahwa kemampuan – kemampuan diatas dipelajari bukan berkontibusi untuk kehidupan tetapi melalui ‘sekolah’ amalia, jihad atau lainnya dengan melibatkan anak – anak dan keluarga yang jelas – jelas bertentangan dengan ajaran agama sebagai jalan mencapai ajal yang sangat tidak beradab dan manusiawi.

Narasi diatas memberi pesan kepada kita bahwa hidup yang berisi dan bernilai dalam keluarga itulah taman belajar dan sekolah sesungguhnya. Penting untuk kita warisi dalam keluarga sebagai unit lingkungan terkecil dari masyarakat, bahwa keluarga adalah sekolah terbaik yang tidak ada duanya, orang tua dan kaka atau adik kita adalah tutor ( guru ) yang memiliki kwalitas jauh lebih hebat yang kita jumpai, disamping tanggungjawab utamanya kita sebagai orang tua adalah mampu membuat keluarga kita takjub setiap saat ketika kita memperkaya hidup keluarga kita dengan nilai – nilai dan ajaran yang bermoral, beragama dan beretika.

Hal ini tidak lantas membuat kita kehilangan rasa percaya kepada sekolah atau lembaga pendidikan formal, penting juga untuk menimbah sisi positif hidup kita dari sekolah atau lembaga pendidikan formal. Kemampuan sosialisasi kita dipertajam, semamgat gotong royong bahkan hidup kita ditempah dan diasah sedemikian rupah hingga kita bisa menerima teman – teman yang memiliki perbedaan dengan kita baik agama, suku, ras dan budaya. Poin – poin inilah untuk melengkapi pendidikan yang kita peroleh dari keluarga sebagai sekolah pertama dalam hidup. Keluarga menjadi pintu pertama untuk menangkal setiap kemungkinan – kemungkinana yang berbau intimidasi, rasisme, intoleransi, provokasi dan radikalisme.

Kontekstualnya dengan peristiwa pengeboman yang tersebar dibeberapa lokasi di tanah air ( yang dominan menjadi pelaku adalah keluarga / suami, istri dan anak – anak — anak – anak sebagai korban ) bisa kita baca sebagai gagalnya keluarga memfasilitasi dan mempraktekan nilai – nilai hidup yang bermartabat untuk menangkal paham sesat, kemudian disatu pihak keluarga terus mereduksi cara berpikir dengan mendasarkan hidup pada doktrin – doktrin ‘hitam’ yang dijejalkan secara terus menerus kepada anggota keluarga sebagai pembenaran dari ajaran keliru yang disampaikan oleh ideolog – ideolog ekstrimis hingga mempertebal sikap intoleransi kepad anggota keluarga, bahwa hidup yang bernilai itu melakukan aksi keji berlafal agama, dan melakukan aksi bom bunuh diri untuk menyempurnahkan jihad sesungguhnya. Disinilah letak gagalnya keluarga memanifestasikan nilai – nilai dari hidup yang diterima dari Sang Khalik.

Bahwa tugas negara memberikan perlindungan dan rasa aman bagi warga negaranya tentu sebagai sebuah keharusan, tetapi kemudian kita melempar semua kekacauan, kejahatan kemanusiaan, intimidasi, intolransi dan provokasi seolah – olah mutlak sebagai hal yang diproduksi oleh negara itu sedikit keliru. Negara gagal? Iya! Kemudian bagaimana dengan agama dan pemuka agamanya? Keluarga dan anggota keluarganya? Atau lingkungan dan masyarakatnya? Kalau menyebut gagal tentu terlalu ekstrim tetapi agama, pemuka agama, masyarakat, tokoh masyarakat dan lingkungan kecolongan! Semua kita punya tanggungjawab yang sama, publik punya kontribusi lain terhadap intoleransi yang melahirkan pola tingkah para teroris untuk melakukan ‘amalia – nya’ sebagai satu – satunya tujuan hidup yang keliru. Publik terlalu diam dan membiarkan pihak – pihak atau orang disekitar kita menggaungkan seruan yang terkesan sarkatis, memberi angin pada kompolotan yang jelas bertentangan dengan nilai atau falsafah yang terkandung dalam Pancasilan dan termakhtub dalam UUD 1945.

Keutamaan kita untuk memerangi aksi – aksi terorisme haruslah menjadi sebuah prinsip yang terus dipelihara sejak dari keluarga, lingkungan, masyarakat dan negara. Bagian yang tidak terpisah dari keberanian kita untuk membangun jejaring sebagai usaha preventif terhadap aliran atau paham yang perlahan berurat akar dalam struktur kehidupan kita hanyalah dengan bersikap terbuka dan kritis, kontrol tinggi terhadap lingkungan dimana kita berada dan menyaring informasi atau nilai – nilai yang akan dipraktekan oleh keluarga kita masing – masing, juga menghargai perbedaan dan mengisi setiap kekuarangan kita atau sesama kita dengan bersilaturahim dan berbagi informasi.

Dari banyak press reales pihak berwajib dalam hal ini Kepolisian Republik Indonesia, pelaku bom bunuh diri di beberapa titik di wilayah Indonesia ini memiliki kesamaan karakter, latar belakang, pola target dan model serangan. Kesemuanya mengikutsertakan anak – anak sebagai pelaku nom bunuh diri ( satu keluarga ). Ini modus baru yang dipakai ketika melakukan aksinya yang jika tidak cepat diatasi bukan tidak mungkin akan adalagi korban berjatuhan dan menjadi contoh buruk bagi masa depan anak – anak kita.

Pada titik ini bukan saatnya kita berdebat untuk mencari dan ‘mengamankan’ posisi kita, bukan juga waktunya untuk melempar kesalahan pada agama atau penganut agama lain. Ini waktunya kita memperkuat dan memberikan hal – hal positif secara terus menerus dalam keluarga kita, dalam lingkungan kita dan di tengah masyarakat kita bahwa kita hanya bisa meraih poin – poin yang berkualitas dan berperikemanusiaan tanpa menciderai sesama kita.

Saat yang paling tepat bagi kita untuk berani membuat keputusan besar terhadap beringas dan kejinya aksi – aksi teroris di sekitar kita dengan mengadopsi nilai – niali hidup bermartabat yang menghargai perbedaan sebagai sebuah pilihan hidup dengan terus merajut kebhinekaan kita untuk menangkal masuknya paham – paham radikalisme yang berniat memporak – porandakan tenun kebangsaan kita dan merobek – cabikkan keberagaman kita sebagai sebuah peradaban. ***

Marhaban Ya Ramadhan
selamat menunaikan ibadah puasa 1 Ramadhan 1439 Hijriah Kamis, 17 Mei 2018 untuk semua sadara dan saudariku yang merayakannya, mohon maaf lahir dan batin.

Salam

Beny Daga, KP & Rekan
Kamis, 17 Mei 2018

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *