NTT-News.com, Kefamenanu – Peringati hari lingkungan hidup tahun 2021, minta pemerintah pusat dan pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) hentikan segala bentuk kebijakan yang tidak ramah lingkungan
Menurut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Provinsi NTT, bencana iklim yang terjadi pada 05 April 2021 di 18 kabupaten/kota harus menjadi peringatan keras bagi semua pihak untuk membenahi hubungan dengan alam sebagai tempat berpijak manusia. Bagi sebagian besar orang bencana adalah bencana alam namun bagi WALHI bencana tersebut adalah bencana ekologis atau bencana yang terjadi akibat keserakahan manusia.
“Di NTT, demi kepentingan perkebunan monokultur, pertambangan dan pariwisata, pemerintah daerah dengan mudanya memberikan leluasa pada korporasi untuk mengeksploitasi tanpa memikirkan dampak yang akan terjadi,” ujar Kordinator Deks Bencana WALHI NTT, Dominikus Karangora lewat pesan WhatsAp pada Sabtu kemarin (05/06/21).
Misalkan, kata Domi, yang terjadi diwilayah konsesi milik PT. MSM (Muria Sumba Manis) seluas 52 ribu hektar di Sumba Timur maupun wilayah konsesi pertambangan PT. Sumber Jaya Asia dengan luas konsesi mencapai 77,43 hektar yang berada dikawasan hutan lindung sehingga menurunkan luas hutan di NTT turut mengundang bencana iklim.
Setiap tahun terjadi penurunan luas hutan di NTT yang mencapai mencapai 15 ribu hektar akibat perambahan dan kebakara berpengaruh pada kemampuan hutan di NTT untuk menyerap emisi. Ketika terjadi hujan lebat akibat dampak tidak langsung dari siklon seroja.
“Maka secara otomatis kemampuan hutan untuk menyerap air hujan pun menjadi berkurang, ungkapnya.
Untuk itu, katanya, WALHI NTT akan merekomedasikan hal-hal yang harus menjadi perhatian pemerintah seperti:
1. Menghentikan segala aktivitas perkebunan monokultur,pertambangan dan pariwisata yang merusak ekosistem penyangga seperti hutan, karst dan mangrove.
2. Mengembalikan hutan adat kepada masyarakat adat dan mendorong masyarakat adat untuk mengelolah hutan secara lestari melalui skema hutan adat.
3. Merevisi perda RT/RW dan RZWP3K dengan mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung lingkungan serta peta rawan bencana di NTT.
4. Melakukan audit tataruang untuk menemukan pelanggaran pemanfaatan ruangdan menetapkan kebijakan serta melaksanakan kegiatan sesuai rekomendasi dari pelaksana audit tata ruang.
5. Memperbaiki kawasan penyangga yang telah rusak akibat faktor alam dan non alam dengan melibatkan masyarakat setempat.
6. Melakukan Pendidikan kebencanaan secara kontinyu dan menyeluruh di NTT terutama daerah yang punya potensi sangat tinggi. Misalnya potensi Tsunami, badai siklon, gunung berapi,banjir, kekeringan.
“Kita boleh melakukan pengolahan sumber daya alam yang kita miliki tapi yang harus diingat bahwa pengelolahan itu harus memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan.Aspek ekonomidan ekologis itu harus tetap seimbang,” jelasnya.
Dirinya berharap momentum perayaan Hari Lingkungan hidup harus menjadi momentum untuk merefleksikan kembali bagaimana seharusnya manusia hidup bersama alam. “Jangan menunggu alam untuk menerapkan hukumnya,” harapnya.
Sementara itu, akademisi dan filsuf lingkungan hidup dari Dr. Frederikus Fios dari Universitas Bina Nusantara, Jakarta meminta Pemerintah NTT mendukung dan menerapkan pola dan pendekatan pembangunan yang ramah lingkungan dengan fokus pada penggunaan potensi sumber daya alam lokal NTT untuk mewujudkan visi energi baru terbarukan (EBT) atau renewable energy.
“Pendekatan yang digunakan harus berpihak pada pendekatan pola ramah lingkunangan dan itu penting,” ujar pria asal TTU.
Laris Mataubana