
NTT-News.com, Amarasi – Orangtua siswa di SMA Negeri 2 Amarasi Selatan dituduh melakuka Pungutan Liar (Pungli) terhadap siswa siswi Kelas XII yang akan tamat dari sekolah itu. Pernyataan tersebut disampaikan salah satu orangtua siswa yang baru saja menamatkan pendidikan di SMA N 2 Amarasi Selatan kepada wartawan media ini.
Menurutnya, Kepala sekolah melakukan pungutan liar karena Ketua Komite sendiri tidak menyetujui adanya pungutan tersebut. Adapun nominal pungutan yang disebutkan orangtua murid tersebut, sebesar Rp 150 ribu per siswa.
“Sebelumnya memang ada pertemuan mau pembagian amplop kelulusan bagi anak-anak kami, dalam pertemuan dibahas untuk kumpul uang, tapi dengan keadaan terpaksa kami hanya bilang ia, padahal setau kami sudah ada dana bos dan tidak boleh lagi ada pungutan,” tuturnya.
Sementara Ketua Komite Sekolah, Rony Bani menuturkan bahwa di sekolah itu ada pungutan yang cukup membebankan orangtua siswa. “Saya memang sangat tidak setuju soal adanya pungutan itu, karena membebani orang tua siswa,” ujar Rony, Rabu 28 September 2016.
Dia menuturkan pungutan itu sangat tidak berdasar dengan memanfaatkan kelulusan para siswa lalu melakukan pungutan dengan maksud sebagai uang pamit. “Pamit apanya kalo membebankan mereka, abis itu uang juga mereka pakai untuk pengadaan pakaian batik untuk guru-guru, mau pakai batik ya guru beli sendiri kenapa harus siswa,” tanya Rony.
Sementara Kepala Sekolah (Kepsek) SMA Negeri 2 Amarasi, Frits Taopan mengakui bahwa pungutan itu sudah berjalan selama dua tahun namun semua berdasarkan kesepakatan bersama dengan orang tua siswa dan Komite sekolah.
“Iya betul ada pungutan, tapi bukan pungutan liar karena orang tua siswa sepakat kumpul uang Rp 150 ribu, per siswa. Itu namanya uang pamit. Rp50 ribu untuk uang Beli Map yang disablon dan Rp 100 ribu untuk uang pamit dengan guru-guru,” kata Frits yang dikonfirmasi di tempat berbeda.
Dia menjelaskan bahwa hasil dari pungutan itu telah dimanfaatkan untuk pengadaan baju batik untuk 21 guru dan pegawai. Pakaian seragam itu dipakai setiap hari Kamis saat masuk sekolah.
Dia juga menyebutkan bahwa pada tahun 2015 ada sebanyak 26 siswa yang menyetor uang dari pungutan itu. Sedangkan pada tahun 2016 ada 42 siswa dan baru 20-an siswa yang sudah menyetor.
“Baru 20-an siswa yang sudah bayar, yang lain belum. Untuk map itu disablon Tulisan nama sekolah sehingga harganya besar begitu. Tempat sablonnya di Kupang, di Oeba Strat A,” jelasnya.
Menanggapi keluhan orangtua siswa dan ketua komite ini, Frits menuturkan bahwa jika persoalan ini telah menimbulkan masalah maka dirinya tidak akan melakukan pungutan lagi pada tahun berikutnya, sebab sebelumnya saja yang disepakati telah menimbulkan image kurang baik bagi dirinya dan dianggap sebagai pungutan liar.
“Kalau jadi temuan, saya akan kembalikan uang Rp 100 ribu. Yang Rp 50 ribu saya tidak kembalikan karena sudah digunakan untuk pengadaan Map,” tandasnya. (Rey)