NTT-News.com, Jakarta – Mata dunia sedang tertuju ke Pulau Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Sebuah ajang promosi kepariwisataan berskala internasional bertajuk Tour de Flores telah bergulir di sana mulai 16 sampai 26 Mei 2016.
Ratusan peserta akan beradu kuat mengayuh sepeda dari Larantuka di ujung timur, hingga Labuan Bajo di ujung barat pulau tersebut. Secara keseluruhan, dari lima etape, mereka harus melahap 661,5 km selama 19-23 Mei 2016.
Faustinus Wundu, Managing Tour de Flores, mengungkapkan ide ajang ini terinspirasi oleh Tour de France, Tour de Singkarak, dan Tour de Banyuwangi Ijen, yang berdampak luar biasa dalam melecut pengembangan pariwisata sebagai lokomotif utama pembangunan daerah di sekitar arena tour.
Ide Tour de Flores ini kemudian disetujui Menko Maritim dan Sumber Daya, Rizal Ramli. Namun, Menko menghendaki program tersebut muncul sebagai usulan sekaligus kebutuhan resmi dari pemerintah daerah.
Menindaklanjuti usulan tersebut, Gubernur NTT Frans Lebu Raya mengusulkan even Tour de Flores ke pemerintah pusat melalui Kementerian Koordinator Maritim dan Sumber Daya RI sebagai media dalam menyukseskan program promosi wisata tersebut.
“Jadi bisa dikatakan, Tour de Flores menjadi even milik Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur yang didukung penuh oleh Pemerintah Pusat dibawah koordinasi Menko Maritim dan Sumber Daya,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima Rabu (18/5/2016).
KESIAPAN DAERAH
Akan tetapi, karena ide pelaksanaan tour ini baru dilaksanakan pada akhir 2015, dengan persiapan yang mepet dan koordinasi yang belum padu, pelaksanaan tour terkesan compang-camping. Hal ini bisa dilihat dari akomodasi para peserta dan tamu yang hadir di Larantuka, tempat start awal etape I.
Ibu Kota Kabupaten Flores Timur ini tidak memiliki akomodasi yang mumpuni dalam menampung tim-tim peserta perlombaan beserta mekaniknya, serta para tamu dari luar daerah yang sengaja datang ke kota itu untuk menyaksikan pelaksanaan tour.
Tidak sedikit peserta perlombaan yang tidak mendapatkan hotel untuk menginap. Mereka terpaksa beristirahat di rumah-rumah khalwat yang dikelola oleh para biarawati Katolik.
Padahal, kabupaten ini memiliki beragam objek wisata baik alam maupun budaya dan religi, sebut saja Taman Laut Wure, situs sejarah Nopinjaga, maupun wisata religi Proses Jumat Agung yang berpotensi menyedot banyak wisatawan.
Faustinus mengakui berbagai kelemahan masih ditemui dalam penyelenggaraan perdana tersebut. Selain karena mepetnya persiapan, ada sejumlah hambatan yang ditemui seperti tingginya ego struktural Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) internal di tingkat kabupaten, di internal kementerian dan lembaga serta antarkementerian atau lembaga.
Didin Junaidi, Ketua Umum Gabungan Industri Pariwisata Indonesia, mengungkapkan sport tourism merupakan sarana yang penting untuk mempromosikan wisata di suatu kawasan karena memiliki potensi menarik wisatawan, baik itu para peserta sendiri, maupun wisatawan lain.
“Ada kemungkinan mereka-mereka yang mengikuti lomba akan datang secara individual. Peluang ini yang harus ditangkap oleh pemerintah daerah serta sektor swasta di sana,” ujarnya.
Dia mengatakan tantangan terbesar pemerintah daerah di lokasi pelaksanaan sport tourism adalah mengemas suatu atraksi wisata yang melibatkan masyarakat lokal, khususnya kelompok-kelompok usaha kecil hingga sektor pariwisata ini mampu memberi manfaat ekonomi.
“Sekarang ini promosi dan pemasaran wisata sudah tidak ada masalah lagi karena pemerintah pusat gencar melakukan. Yang penting pemerintah daerah dan swasta tentunya, harus menangkap peluang ini dengan menyiapkan akomodasi dan akses yang baik,” ucapnya.
Yupiter Marenos Lada, praktisi pariwsiata Nusa Tenggara Timur (NTT), mengamini apa yang dikatakan Didin Junaidi. Menurutnya, agar provinsi itu bisa merebut perhatian wisatawan lokal, domestik dan mancanegara, maka salah satu langkah yang harus dilakukan adalah menyiapkan destinasi yang terkonsep dan terintegrasi seperti Tour de Flores dan Visit Komodo.
Agar destinasi tersebut bisa diakses oleh para wisatawan, menurutnya, pemda mau tidak mau harus menyiapkan akses dan fasilitas transportasi menuju ke daerah tujuan wisata. Selain itu, menurutnya, harus ada pula informasi destinasi pariwisata yang jelas di tiap kabupaten, kecamatan, bahkan desa.
“Langkah lainnya, membuat desa wisata sehingga masyarakat lokal diberdayakan baik itu potensi dan kapabilitasnya di samping membangun based community tourism agar masyarakat siap menjadi tuan rumah yang baik bagi para wisatan,” tuturnya. (NF)
bisnis.com/MG Noviarizal Fernandez