News

Jeritan Jelata vs Kutukan Pemimpin

×

Jeritan Jelata vs Kutukan Pemimpin

Sebarkan artikel ini
Oktovianus Seran, S.I.P., M.Si. (Pemerhati Demokrasi; Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Timor Kefamenanu)

Tradisi kehidupan politik dan persepsi perpolitikan yang sering mementingkan kepentingan pribadi/golongan kian memberi dampak kesengsaraan yang sangat luar biasa kepada rakyat jelata. Betapa tidak, janji-janji manis yang diumbar ke publik melalui jargon-jargon politik di negeri ini selalu saja luput dari perbuatan “tepat janji”.

Di negeri indah permai ini dapat disaksikan berapa banyak politisi dan penguasa yang haus kekuasaan dan kehormatan memiliki 1001 cara yang digunakan untuk menggapai kekuasaan yang “mulia” itu.

Beberapa dekade terakhir, politik bukan lagi merupakan seni (estetika). Politik sudah lebih sebagai sarana merebut kekuasaan dan kesempatan membalas dendam. Di dalamnya, peran egosentris dari kelompok-kelompok tertentu berseliweran yang tentunya berdampak pada tangisan rakyat jelata.

Berapa banyak dari antara mereka peduli pada tangisan para jelata? Tidak banyak, bahkan nihil. Padahal negeri ini milik para jelata.

Sadarkah tuan-tuanku bahwa rakyat jelatalah yang empunya negeri ini? Lupakah tuan tuan-tuanku para elit bahwa proses pencapaian kekuasaan semata-mata karena keterlibatan jelata? Mengapa rakyat sering dibiarkan menangis? Sejauh mana fungsi para politisi, praktisi politik, penguasa mengayomi masyarakat jelata menuju kebahagiaan lahiriah?

Merton (1977) menyatakan bahwa fungsi mengemukakan konsekuensi tindakan-tindakan yang menyebabkan suatu sistem tetap hidup; di sisi lain disfungsi menyebabkan suatu sistem hancur lebur dan pupus. Dengan adanya kegiatan-kegiatan politik, input function dan output function bertransformasi menjadi sesuatu yang sangat penting dalam menentukan cara kerja sistem yang kredibel, akuntabilitas, dan visioner. Sudahkah itu dilakukan para elit?

Disadari atau tidak, tangisan rakyat jelata merupakan kutukan keras buat pemimpin di daerah ini yang tidak mampu menjalakan amanah demokrasi untuk mengapai kesejahteraan umum. Sampai pada titik ini sesungguhnya pemimpin telah melupakan nilai-nilai dasar sebuah pelayan publik dan kepemimpinan yang baik.

Idealnya pemimpin harus mampu memberi dominasi nilai untuk meningkatkan produktivitas kerja agar mampu menjawab mereka yang empunya negeri ini.

Banyak orang saat ini ingin memajukan daerahnya  dengan cara menjadi figur (calon) pemimpin yang baik pemimpin di level nasional maupun pemimpin di daerah. Maka, kapasitas diri harus ditingkatkan, kepekaan harus terus diasa, simpati dan empati harus selalu dipupuk agar figur pemimpin mampu menjadi pemimpin yang baik, yang mampu menampung aspirasi rakyat, dan sedapat mungkin menanggulangi masalah kemiskinan universal.

Pemimpin harus menjalankan fungsi melayani dengan baik agar kebutuhan masyarakat dapat terakomodasi, bukannya kepentingan pribadi/kelompok/golongan.

Patut dicatat bahwa konsep yang diajukan di atas merupakan kekurangan yang sangat esensial terjadi pada kepemimpinan banyak elit dewasa ini. Kekuasaan dianggap sebagai kesempatan memperkaya diri bukan membangkitkan semangat hidup rakyat jelata. Ingat, kutukan terhadap pemimpin merupakan konsekuensi terburuk dari tangisan para jelata.

Menyikapi kondisi negeri seperti ini, dalam beberapa kesempatan terahir banyak pemerhati masalah sosial politik telah mengupas tuntas. Sering rakyat dibiarkan terombang-ambing dalam ketidakjelasan dan ketiadaan harapan. Hingga terkadang bahtera tumpangan rakyat jelata nyaris terseret badai masa dan tenggelam. Sampai kapan para elit membiarkan rakyat kecil kehilangan harapan hidupnya, merintih kesakitan akibat ulah para debah?

Kemisan suara pilihan pada perhelatan politik tiada lagi berguna. Kecuali pada saat terjepit penguasa, elit, dan politisi datang dan menempatkan jelata di tempat paling mulia di luar biasanya.

Hai pemimpinku, sekarang kau seperti hantu datang dan pergi seenaknya, bahkan dengan seenaknya  kau tampil dengan gayamu yang merakyat, rela kebpelosok-pelosok yang penuh lumpur dan debu membuat kami percaya bahwa kaulah sebenar-benarnya pemimpin kami dan  dapat mensejahterakan daerah ini. Namun sekarang kami tak mendengar suara lembutmu, yang kami dengar hanyalah dentuman masalah silih berganti yang nyaris mencekik leher kami. Apakah ini yang dinamakan kutukan?

Yahh………. itulah realita bukan fatamorgana yang mengada-ada. Rakyat terus menjerit, teriakan-teriakan kecil berjuang dalam kesedihan dan lara. Tetapi itu tak kau gubris. Andaikan negeri antah berantah adalah negeri kita dengan keadaan ini maka sebenarnya kita telah berada pada kondisi kebiadaban. Mengapa? Karena kontraversial kehidupan telah menampakkan nilai-nilai buruk yang berimbas pada ketidaksejahteraan rakyat.

Wahai penguasa yang sedang duduk di kursi empuk, lihatlah dengan mata hatimu bahwa kami yang meronta-ronta bukan hanya untuk mendapat sesuap nasi, bukan juga untuk mendapatkan uang sebagai bekal hidup, tetapi demi tujuan yang mulia yaitu keberadaban kita. Seharusnya tidak membiarkan teriakan kami hilang disapa badai egois. Biarkan kami menjadi pemimpin untuk diri kami sendiri jika itu maumu.

Mari kita melirik sejenak sejarah lampau daerah ini yang dibangun susah payah oleh para pendahulu kita, adakah hal aneh yang terpola di masa itu? Tidak. Sekali-kali tidak. Yang mereka pikir dan lakukan adalah kemanusian yang bermoral tinggi dan penuh etika.

Oleh karena itu, kita sama-sama berbuat baik untuk khalayak (masyarakat akar rumput). Dengan mengedepankan aspek etika, estetika, mari berusaha never stop to begin and never begin to stop (jangan pernah berhenti untuk memulai dan jangan pernah mulai untuk berhenti). (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *