NTT-News.com, SBD – Fenomena “mendadak” wisuda tanpa mengikuti proses perkuliahan layaknya Kampus dan mahasiswa seperti biasanya sedang merajalela dan mulai terendus di Sumba. Fenomena ini mulai terkuak ketika seorang Kepala Desa mengaku diwisuda setelah mengikuti perkuliahan dengan jumlah 17 SKS, meskipun pada akhirnya mulai beralibi bahwa dirinya menyelesaikan 144 SKS baru diwisuda.
Fenomena mendadak wisuda ini ramai dibicarakan di sosial media khususnya di Kabupaten Sumba Barat Daya (SBD), salah satu anggota DPRD SBD yang namanya masih belum ingin dipublikasikan pun mengkritisi tindakan mendadak wisuda yang dilakukan oleh banyak orang yang telah diwisuda dan pihak perguruan tinggi melakukan tindak “pelacuran” jual beli ijazah tersebut.
Baca juga:Â Kades Kahale Wisuda dengan 17 SKS, Netisen; mungkin maksudnya wisuda pada semester 17
Mantan pimpinan dewan tersebut mengatakan kasus penerimaan mahasiswa baru yang langsung wisuda dan tanpa melalui proses perkuliahan merupakan sebuah tindakan pelacuran terhadap dunia pendidikan dan pembodohan intelektual di masyarakat.
“Oknum yang sengaja melakukan proses pembodohan intelektual di masyarakat untuk memperkaya diri harus dihentikan. Karena dalam dunia pendidikan formal atau informal seperti kelompok bermain, TK, SD hingga perguruan tinggi tetap melalui proses belajar mengajar, apa lagi hanya 17 SKS itu sudah diluar nalar bagi kita yang pernah menjadi mahasiswa,” tuturnya ketika menghubungi media ini.
“Tindakan yang merendahkan etika-etika pendidikan tanpa melalui jalur-jalur yang semestinya harus dihentikan, karena merupakan pembodohan intelektual terhadap masyarakat,” katanya.
Baca juga:Â Kades Kahale Wisuda dengan 17 SKS, Dosen S2 Angkat Bicara; memalukan NTT
Dia menjelaskan, beberapa pekan ini banyak yang pergi wisuda di salah satu perguruan tinggi di Jogjakarta yang ramai diberitakan beberapa hari terakhir ini. Dirinya merasa miris dengan sikap mayarakat juga yang harap gampang dengan mengandalkan uang lalu diwisuda dan dapat ijazah.
“Lebih miris lagi, kemarin banyak yang wisuda sebagai Sarjana Pendidikan Agama Kristen, tetapi Wisudawan beragama Katolik. Ini sudah sangat jelas tidak benar lagi. Ini penipuan, asal dapat gelar saja. Tetapi yang perlu diingat adalah ijazah yang dipakai untuk memperoleh jabatan atau kedudukan tertentu dan mendapatkan upah tertentu termasuk tindakan penipuan untuk memperkaya diri, sanksinya jelas sudah diatur,” ujarnya.
Dia juga mengatakan bahwa kasus ini bukan saja terjadi untuk Kepala Desa Kahale, Yohanis Rehi tetapi masih banyak yang telah diwisuda dan menggunakan ijazah tersebut. Bukan saja dikalangan masyarakat biasa tetapi oknum dilembaga yang sedang Ia duduki saat ini juga dia menduga kuat, ada yang ikut diwisuda pada tahun-tahun sebelumnya.
Dia meminta agar Pemda Sumba Barat Daya memperhatikan ijazah lususan Sekolah Tinggi Agama Kristen (STAK) Taruna Bhakti Yogyakarta ini untuk diberikan atensi khusus karena sedang ramai diragukan masyarakat SBD.
“Wajar kalau diragukan kuliah oknum-oknum ini, kita tau persis duduk berdirinya orang setiap hari, tapi tiba-tiba pergi ke Jogja untuk wisuda, lalu kapan kuliahnya dan kapan ke Jogja untuk kuliah kok tiba-tiba berangkat wisuda?,” tanyanya.
Baginya, kasus seperti ini dilakukan oleh oknum yang diduga kuat telah melakukan penipuan terhadap puluhan calon mahasiswa. Kasus ini mencuat berdasarkan pengakuan awal Kepala Desa Kahale hanya kuliah dengan 17 SKS yang diberitakan media mainstream.
Dia menegaskan bahwa hal seperti ini sudah dilarang dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam pasal 67 UU tersebut menyatakan perseorangan, organisasi, atau penyelenggara pendidikan yang memberikan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan atau vokasi tanpa hak diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun atau denda paling banyak Rp 1 miliar.
Dipertegas dengan Permendikbud 7/2020 tentang Sanksi Administrasi berat yang diatur dalam Poin 2, yakni Perguruan Tinggi dan/atau Program Studi yang memberikan ijazah, gelar akademik, gelar vokasi, dan/atau gelar profesi kepada orang yang tidak berhak;
Olehkarena itu dirinya berharap agar aparat penegak hukum menyelidiki siapa dalang dibalik marakanya wisuda tanpa melalui proses perkuliahan sebagai perguruan tinggi lainnya di Indonesia.
“Aparat penegak hukum akan lebih mudah untuk mengungkap oknum yang menengahi wisudawan dan pihak perguruan tinggi dengan memanfaatkan kasus Desa Kahale yang mulai mencuat ini,” tutupnya.
Sementara informasi yang berhasil dihimpu media ini, oknum tersebut ada disalah satu Kota Kabupaten di pulau Sumba, Oknum tersebut mematok biaya hingga Rp 25 juta per calon mahasiswa dengan janji langsung diwisuda sarjana lengkap tanpa melalui proses perkuliahan, hanya saja harus menunggu satu tahun setelah mendaftar baru langsung diwisuda. (tim)
Bukan hanya di kab.SBD di kab.Sumba Barat jg banyak yg pergi wisuda ke Yogyakarta baru2 ini,hal ini haru ditindak tegas,karena menurut berita sdh ada yg ikut tes PPPK kemarin,kami sebagai masyarakat kecil yg punya anak yg lagi mengikuti kuliah reguler saat ini kami sangat mengharapkan bantuan dari BÃ pak2 anggota dewan terhormat untuk terus menyuarakan hal ini,agar spy tidak semakin banysk korban penipuan kuliah instan ini,istilah kami rakyat kecil slma ini sarjana lompat-lompat.