Wati, Tradisi dan Kerajinan ‘Pengepul asap Dapur’ Ibu-ibu dari Nagekeo

0
504
Anyaman Wati asal Aesesa Kabupaten Nagekeo NTT

NTT-News.com, Mbay – Sebagai salah satu kerajinan tradisional, anyaman memang sudah menjadi bagian dari budaya Indonesia. Selain bahannya yang alami, produk turunan dari anyaman juga sangat banyak, contohnya saja tikar, keranjang, tas, dan lain-lain.

Di beberapa daerah di Tanah Air, kemampuan menganyam bahkan diajarkan secara turun-temurun. Salah satu daerah yang penduduknya memiliki kemahiran dalam menganyam adalah Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur (NTT). Namun sayang kerajinan ini sempat ‘terlupakan’ dan hanya ibu-ibu paruh baya yang memiliki kemampuan menganyam.

Akan tetapi kerajinan menganyam “Wati” (bukan nama anak gadis) ini kembali dibangkitkan oleh Ibu Adelina Tonggo dan kawan-kawan di Desa Aeramo Kecamatan Aesesa, Kabupaten Nagekeo.

Anyaman adalah sebuah kewirausahaan sosial yang mengusung peran aktif dalam mengatasi masalah dapur atau pendapatan ibu-ibu rumah tangga.

Lewat Anyaman, ibu Adelina Tonggo dan teman-temannya menggandeng para ibu dan wanita di daerah Desa Aeramo untuk menganyam daun lontar sebagai satu alternatif pendapatan tambahan dari sekadar berladang.

Menciptakan produk berkualitas dan meningkatkan taraf hidup masyarakat sekitar adalah hal Penting yang berusaha dibangun Mereka.

Hal ini yang diamini Adelina sebagai sebuah achievement atas apa yang ia lakukan sejauh ini.

Para ibu dan wanita kini sudah memiliki pendapatan lebih demi menambahkan kepulan asap dapur (tetap berkecukupan makanan untuk di masak) selain berkeringat di ladang pertanian. Di sela waktu, atau dalam kondisi mengandung, mereka dapat menganyam.

Namun, jauh sebelum semua itu tercapai, Adelina membagi sedikit ceritanya saat membangun Anyaman “Wati”.

Berbekal 16 pengrajin di tahun 2018, ia dan temannya terus melakukan inovasi serta mengedukasi para penganyam agar kualitas produk yang dihasilkan tetap terjaga. Dari Sekian ibu-ibu pertama yang bergabung, hampir semuanya menginjak usia 40 tahun ke atas, dan kini semakin banyak perempuan muda menjadi pengrajin “Wati”.

“Setelah penjualan pertama kami, peningkatan ekonomi ibu dan wanita cukup meningkat. Dari yang sebelumnya hanya bertani dengan pendapatan per tahun sekitar 3-4 juta, kini para ibu dan wanita bisa mendapat Rp 150 ribu sampai Rp 250 ribu per minggu,” tutur Adelina.

Adelina mengharapkan agar Pemda Kabupaten Nagekeo memperhatikan dan turut menjaga dan terus melestarikan kerajinan lokal serta adat dan Budaya lokal menganyam.

Menurut Adelina menjaga dan melestarikan tradisi merupakan hal yang perlu dibangkitkan oleh anak-anak bangsa yang akan datang.

“Sudah sekian lama kami melakukan ini, tetapi baru sekarang kami bisa mulai kembali dengan menganyam ‘wati’ ini. kami hanya berharap Pemerintah Nagekeo harus terus melestarikan Nilai-nilai Budaya yang sudah lama redup, supaya anak-anak Kami bisa belajar,” harapnya. (Vhiand)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini