NTT-News.com, Jakarta – Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan tengah mengembangkan konsep kader Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) untuk meningkatkan kepesertaan dan kolektibilitas iuran. Sebagai model percontohan, konsep baru ini melibatkan 1000 kader di 75 kantor bacang BPJS Kesehatan.
Direktur Perencanaan, Pengembangan, dan Manajemen Risiko BPJS Kesehatan, Mundiharno, mengatakan, untuk mencapai Universal Health Coverage (UHC) atau cakupan kesehatan menyeluruh pada 2019 mendatang dan meningkatkan kolektibilitas iuran, BPJS Kesehatan terus melakukan berbagai terobosan. Salah satunya dengan konsep kader JKN ini.
Mengadopsi konsep sharoushi dari Jepang, kader JKN nantinya berperan seperti agen asuransi sosial yang bertugas menyosialisasikan, mengedukasi dan memberikan pendampingan kepada masyarakat terkait dengan program JKN.
“Kader JKN ini seperti agen asuransi sosial. Mereka menjaring peserta dan memberikan pendampingan ketika peserta menghadapi persoalan dalam layanan kesehatan,” kata Mundiharno di sela-sela seminar hasil kajian penelitian dan pengembangan BPJS Kesehatan di Yogyakarta, Kamis (18/11).
Menurut Mundiharno, kader JKN ini mengadopsi konsep sharoushi yang dikembangkan Jepang sejak 40 tahun silam. Sharoushi adalah kader-kader yang mendapat pendidikan khusus dan bersertifikat. Fungsi kader ini untuk menjaring kepesertaan guna mempercepat UHC dan meningkatkan kolektibilitas iuran peserta program asuransi kesehatan di negara tersebut. Dengan konsep ini, kolektibilitas iuran di Jepang kini mencapai 100 persen.
Di Indonesia, kader JKN akan mengombinasikan antara agen asuransi komersial dengan fasilitator atau tenaga pendampingan di beberapa program pemerintah, seperti pendamping PNPM Mandiri atau pendamping desa, pendamping Program Keluarga Harapan (PKH), kader posyandu dan lain sebagainya.
Kader JKN akan mendapatkan pelatihan selama dua hari dan dievaluasi setiap dua kali dalam seminggu. Mereka mendapatkan honor dari BPJS Kesehatan berdasarkan capaiannya meningkatkan kepesertaan dan kolektibitilitas iuran. Jumlah kader JKN ditargetkan bertambah hingga 7000 orang pada tahun depan.
Kader ini menjalankan beberapa fungsi, yaitu menyosialisasikan program JKN, meningkatkan pemahaman peserta soal kewajiban dan haknya. Mendampingi masyarakat yang ingin melakukan pendaftaran sebagai peserta dan membayar iuran. Kader JKN diharapkan bisa membantu peserta yang selama ini sulit mengakses tempat pendaftaran dan pembayaran iuran.
Sulitnya akses terhadap tempat pendaftaran dan pembayaran iuran untuk sebagian wilayah di Indonesia masih menjadi hambatan dalam pelaksanaan program JKN. Meskipun BPJS Kesehatan telah membuka lebih dari 131.000 Payment Point Online Bank (PPOB), namun menurut Mundiharno, itu belum cukup menjangkau semua masyarakat.
Kader JKN juga berperan memberikan pendampingan kepada peserta ketika mendapat hambatan saat membutuhkan layanan kesehatan di fasilitas kesehatan. Termasuk memberikan pemahaman kepada peserta mengenai sistem rujukan berjenjang.
Mundiharno mengatakan, konsep kader JKN ini perlu diterapkan karena jumlah kepesertaan dan angka kolektibitilitas iuran terutama dari sektor informal atau peserta mandiri sampai saat ini belum optimal.
“Kepesertaan dari sektor informal dalam sistem asuransi kesehatan di semua negara hampir bermasalah, tidak berkelanjutan. Kami ingin mencari model lain untuk mengatasinya,” katanya.
Dalam kesempatan yang sama, pengamat ekonomi kesehatan dan guru besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Prof Budi Hidayat mengatakan, adanya kader JKN otomatis biaya operasional BPJS Kesehatan juga akan bertambah. Mestinya dari total premi yang terkumpul, sebesar 10 persen di antaranya untuk operasional badan, dan sisanya untuk dana layanan kesehatan peserta.
Menurut Budi, ide dasar kader JKN ini diperlukan untuk mengatasi persoalan rendahnya kolektibilitas iuran dan masih kurangnya sosialisasi mengenai JKN. Persoalan JKN saat ini bukan hanya soal rendahnya kolektibilitas iuran, tapi juga sumber pendanaan yang belum jelas keberlanjutannya.
Selain itu, ada perilaku tidak normal dari pelayanan kesehatan yang ikut merugikan pendanaan JKN. Ini terlihat dari angka dumping yang masih tinggi dan cenderung meningkat tiap bulannya sebesar 4,3 persen pada rawat jalan dan 3,5 persen pada rawat inap. Demikian pula angka readmisi bermasalah yang cenderung meningkat.
Menurut Budi, kader JKN haruslah orang yang dekat dengan masyarakat, sehingga program JKN lebih mudah dikomunikasikan. Sebab rendahnya kolektibilitas iuran, khususnya pada pekerja informal atau peserta mandiri saat ini juga dikarenakan rendahnya pemahaman mereka terhadap program JKN. (BS)