Covid 19 adalah sebuah kata yang disematkan pada Virus mematikan di tahun 2020 ini. Duka mendalam melanda hampir seluruh pelosok dunia. Betapa tidak ! covid 19 menyedot perhatian ekstra dari seluruh lapisan masyarakat internasional dengan anggaran yang tidak sedikit.
Semuanya beralasan demi memutuskan mata rantai pandemi tersebut. Pola hidup masyrakat dunia seoalah tergerus sebuah aliran “TERPAKSA” untuk berhenti sejenak dari rutinitas sehari-hari dan mulai belajar melakukan sesuatu yang baru.
Ditengah kondisi seperti ini mampukah setiap kita menjadikan suasana ini sebagai pola hidup baru yang bersih dan sehat atau malah kita menjadikan kondisi ini sebagai taktik atau siasat bejat, menghadapi pemilu kada yang belum jelas kapan di mulai. Meski demikian, lonceng pemilu kada sempat berdentang diakhir tahun lalu (2019) sebelum covid 19 datang sebagai “hakim” untuk memilah kita sejenak.
Apakah kondisi ini merupakan pertanda manusia semakin beradab ataukah sebaliknya ? Realita menunjukan bahwa ada krisis tersembunyi ditengah kondisi pandemi ini. Namun bukan krisis ekonomi global. Para pemimpin dunia sementara bekerja keras untuk mencari solusi pandemi ini. Namun, yang dimaksud disini adalah krisis dunia pendidikan yang seoalah2 seperti kanker, tanpa disadari, tanpa terdeteksi secara pasti tetapi dapat menghancurkan masa depan kehidupan demokrasi kita.
Ada satu fenomena mendasar yang kurang disadari. Para pembuat kebijakan telah mengajarkan anak-anak untuk hanya mengejar profit, meningkatkan berbagai skill yang bersifat teknis bahkan melatih generasi yang siap pakai.
Sesungguhnya kita sedang mengabaikan sesuatu yang berharga, melupakan yang penting yakni spiritualitas atau daya kemanusian yang membatasi hubungan demokrasi kita dalam memandang sesama sebagai pesona yang bermartabat bukan menghancurkan kelompok atau individu tertentu dalam berdemokrasi.
Individu sedang mengalami delokalisasi dalam tantanan hidup yang kompleks. Besar kemungkinan hal ini akan mengancam nilai-nilai tradisi, kebiasaan dan relasi interpersonal. Implisitnya black campign, dimana hubungan kekerabatan berubah menjadi amat virtual dan teknis. Kemanusian diabaikan. Situasi ini membuat kita sangat membutuhkan kekuatan antisipatif untuk membaca setiap ekspresi electoral yang bersifat parsial dan lokal. Kita perlu menyadari bahwa ditengah kondisi yang seperti ini manusia tidak seharusnya identik dengan biadab. Dimensi penting harus diperhitungkan adalah aspek orang yang tepat pada tempat yang tepat kita seharusnya tidak melakukan black campaign untuk menghancurkan atau memanipulasi orang dengan mengarahkan mereka pada dimensi lain selain kesehatan .
Sangat disayangkan bahwa penerapan domain politik selalu masi mengusahakan kontroversi antara manipulasi informasi dengan masalah etika dan moral. Pandemi covid-19 tentu hadir disaat momen pesta demokrasi berkumandang. Banyak kepentingan mulai menerobos ke berbagai segi vital kemanusian.
Katakan saja bahwa bantuan korban covid 19 untuk masyrakat selalu dimamfaatkan pihak tertentu atau pemegang kendali pemerintah di suatu daerah untuk memuluskan popularisasi politik.
Tanpa disadari mereka menunjukan bahwa mereka adalah pahlawan meski pahlawan sesungguhnya adalah individu terkait. Apakah retorika politik menjawab pi masalah ini ?? Tidak. Sekiranya ada kebijakan urgen saat ini, semata-mata demi kemanusian. Jangan kita mencampur adukan kemanusian beradab dengan manusia yang biadab.
Satu kemungkinan untuk mengahadapi persoalan seperti ini yaitu membuka ruang bagi terciptanya fakta-fakta yang benar dan sikap respect yang jujur agar semua orang melihat dunia dari sudut pandangnya masing-masing.
Harapan sosial yang dibutuhkan adalah kreatifitas setiap individu yang bebas dari tekanan oleh siapapun dan kapanpun sehingga orang mampu menciptakan kondisi kehidupan yang harmonis.
Sampai pada titik nadir ini, kita sebagai insan politik dituntut untuk berpikir dan menciptakan nilai-nilai kemanusian sesungguhnya seperti jujur dalam berbuat,ramah dalam berprilaku,respek menyikapi dan tidak apatis.
Oleh karena itu marilah kita membangun dengan semboyan wujudkan kasih yang sesungguh
Seharusnya tidak hanya menilai prilakunya sendiri untuk mempengaruhi orang lain, tetapi juga harus mengerti posisi mereka dan bagaimana caranya mengunakan kekuasaan.
Menilisik dari beberapa informasi dan peristiwa-peristiwa yang terkait, eforia politik yang terjadi di malaka saat ini kian memanas, serta menyita banyak perhatian public. Terkait dengan beberapa statement elit, seolah-olah sangat menunjukan eksistensi dan electabilitas terhadap penurunan nilai kepemimpinan, krakter-krakter pemimpin yg otoriter, totaliter dictaktor, super power, inilah banyak memicu perhatian dan sangat kontradiksi dengan pendidikan politik sesungguhnya, dan ini akan semakin memberi keleluasaan kepada lahirnya dinasti politik yang berkepanjangan.
Sangat di sayangkan kepentingan sudah bervaliasi dengan dinasti politik yang dimana akan melahirkan bayi oligarki, kultus akan terbentuk seketika tradisi akan dibiarkan…??
Perlu diingat bahwa resiko ketika berada dalam suatu “MAQOM” rezim. Kita kembali kepada para penjilat kekuasaan sebaiknya menimbang dulu perasaan Masyarakat atau Rakyat. (*)
Penulis adalah Tenaga Pengajar Universitas Timor, Kefamenanu – NTT