Indonesia adalah Negara majemuk yang terdiri dari berbagai ras, suku, agama maupun golongan. Kemajemukan ini turut mempengaruhi cara dan sudut pandang paham kebangsaan yang ada. Faktanya, terdapat tiga paham kebangsaan di Indonesia yakni religionalisme (nasionasilme berdasarkan agama), etnonasionalisme (nasinalisme berdasarkan suku), dan nasionalisme modern (nasionalisme Indonesia). Para penganut paham nasionalisme berdasarkan agama menjadikan agama sebagai tolak ukur persatuan dan menginginkan Negara yang sesuai dengan pandangan agama mereka. Sedangkan para penganut paham nasionalisme berdasarkan suku lebih merasa dipersatukan oleh karena berasal dari suku yang sama.
Sejatinya sejak awal bangsa ini didirikan, para bapak bangsa menginginkan agar segenap masyarakat Indonesia tidak terjebak dalam dua paham kebangsaan di atas. Para pendiri menawarkan paham nasionalisme Indonesia. Mereka berharap paham ini mampu melampaui semangat suku dan agama. Para pendiri bangsa berharap masyarakat Indonesia merasa dipersatukan bukan semata karena berasal dari suku yang sama ataupun memiliki agama yang sama, melainkan karena sama-sama warga Negara Indonesia. Maka tidak heran di awal berdirinya bangsa ini setiap usaha untuk menghidupkan paham nasionalisme berdasarkan agama maupun suku selalu mendapat pertentangan dari kaum nasionalis. Tidak jarang juga terdapat pergerakan, organisasi atau kelompok yang mengatasnamakan agama atau suku dibubarkan oleh pemerintah dengan pertimbangan bertentangan dengan cita-cita membangun paham nasionalisme Indonesia.
Lantas bagaimana kita melihat fenomena yang terjadi di tengah masyarakat Indonesia saat ini? Apakah usaha pemerintah untuk menekan berkembangnya paham kebangsaan baik nasionalisme berdasarkan agama ataupun nasionalisme berdasarkan suku telah benar-benar efektif? Apakah perkembangan kedua paham ini telah benar-benar mampu diredam? Kalau boleh jujur, kita harus mengakui bahwa usaha pemerintah untuk meredam kedua paham ini belumlah berjalan sepenuhnya. Pada kenyataannya, baik paham nasionalisme berdasarkan agama maupun suku masih sangat massif berkembang di tengah masyarakat Indonesia. Bahkan kita dapat katakana bahwa pemerintah seakan-akan kewalahan dalam membendung berkembangnya kedua paham ini.
Salah satu paham yang masif berkembang dan bahkan sudah dalam taraf mengkhawatirkan saat ini adalah nasionalisme berdasarkan agama. Dibubarkannya beberapa organisasi radikal bertopeng agama ternyata tidak menyurutkan perkembangan paham ini. Isu agama menjadi isu yang paling sensitif dan mendapat respon yang paling cepat. Agama seakan menjadi “candu” bagi para pemeluknya. Tidak jarang kita menemukan gesekan-gesekan antar umat beragama di dalam Negara Indonesia. Parahnya lagi banyak orang yang mengaku sebagai pemuka agama turut memberikan doktrin-doktrin yang menumbuhkan sikap membenci pemeluk agama lain. Nilai-nilai dalam agamanya pun diyakini sebagai satu-satunya kebenaran. Mereka yang bertentangan dan dianggap bertentangan akan ditekan sedemikian rupa demi memaksakan nilai-nilai yang ia yakini.
Memaksakan nilai-nilai agama yang diyakini dalam hidup bermasyarakat sebagai satu-satunya nilai yang benar tentu saja akan merusak tatanan yang ada. Kondisi ini semakin diperparah dengan persentasi pemeluk agama yang tidak berimbang. Mereka yang merasa sebagai mayoritas bahkan tidak segan-segan menggunakan kekerasan dalam memaksakan nilai-nilai yang ia yakini bagi orang lain. Untuk itu tidak mengherankan jika diberbagai tempat di Indonesia, terjadi tindakan persekusi oleh pemeluk agama tertentu terhadap pemeluk agama yang berlainan dengannya. Bertopengkan sebagai agama mayoritas di tempat tersebut, para pemeluknya akan merasa memiliki “power” dalam melancarkan aksinya. Mereka yang minoritas pada kenyataannya akan selalu menjadi pihak yang tertindas.
Lantas, apakah memang agama memiliki atau mengajarkan hal demikian? Pada kenyataannya, tindakan pihak-pihak yang memaksakan nilai-nilai agamanya sebagai kebenaran mutlak tidaklah diterima secara universal. Ternyata banyak juga pihak yang memiliki pandangan bahwa beragama seharusnya menjadikan manusia menjadi lebih beradab dan mencintai keharmonisan. Beragama seharusnya tidak menjadikan pemeluknya fanatik buta. Agama pada taraf tertentu bahkan bisa menjadi jalan mediasi dalam mendamaikan pihak-pihak yang sedang bertikai. Mereka yang memiliki pandangan seperti ini meyakini bahwa paham-paham ekstrimis yang “diakibatkan” agama sesungguhnya lahir dari salah penafsiran atau pengertian dari orang tertentu mengenai ajaran agamanya. Tidak jarang juga sikap ekstrim ini muncul akibat dari pengajar-pengajar keagamaan yang tidak begitu kompeten.
Salah satu tokoh yang dapat kita jadikan sebagai referensi universal dalam bagaimana seharusnya memandang agama adalah Vivekananda. Swami Vivekananda lahir di Calcutta, India, pada tanggal 12 Januari 1863 dengan nama Narendranath Dutta dari pasangan Bhuvaneshwari Devi dan Vishwanath Dutta. Ayahnya Vishwanath Dutta merupakan anak dari seorang pengacara terkenal di kotanya. Pemikiran dan kepribadian Narendra dipengaruhi oleh orang tuanya. Pemikiran rasional yang dimiliki Narendra diwariskan oleh ayahnya dan ketaatannya pada agama diwariskan oleh ibunya.
Pemikiran filsafat Swami Vivekananda lebih menyerap dan mentelolir beragam pemikiran dibidang keagamaan mulai dari pemikiran yang maju seperti Vedanta sampai pemikiran pemujaan arca, pemikiran Budha, ateisme jaina dan carwaka. Ia hadir dengan suatu tujuan yang mulia menyuarakan keharmonisan hidup antar beragama. Dalam pemikiran Vivekananda tidak memandang agamanya superior dari agama yang lain. Vivekananda tidak terjebak pada doktrin agama dan tidak terlalu fanatik tetapi menghayati sungguh-sungguh apa yang telah diimaninya dan terbuka serta tergerak untuk menjalin keharmonisan dengan agama lain.
Ini selaras dengan ajaran filosofi Vedanta. Dia menyajikan pandangan universal Vedanta, bukan sebagai sistem filsafat India tertentu, melainkan sebagai pandangan yang mencakup semua tentang semua tradisi religius dan spiritual dunia. Pesannya adalah menggabungkan meditasi dengan tindakan, pengetahuan dengan pengabdian. Vendata menjadi dasar untuk mengembangkan kesatuan dan keharmonisan beragama.
Bertolak dari pemikiran Vivekananda di atas, kita sebagai masyarakat Indonesia yang mengaku sebagi orang beragama seharusnya memiliki pandangan yang sama. Agama yang kita yakini dan imani seharusnya menjadikan kita sebagai orang-orang yang mau menghargai satu sama lain. Agama juga sejatinya menjadikan kita sebagai orang-orang yang mampu membangun hidup yang harmonis antar umat beragama. Dengan mengaku sebagai orang-orang beragama, kita sejatinya harus menunjukkan sikap yang selaras dengannya. Kita pun diundang untuk mengamini bahwa sesungguhnya setiap agama mengajarkan dan menginginkan hal baik bagi pemeluknya termasuk dalam menjalin relasi dengan pemeluk agama lain.
Membangun sikap harmonis antar umat beragama di Indonesia tentu bukanlah pekerjaan yang mudah. Dibutuhkan suatu usaha ekstra dan kebulatan tekad dari setiap kalangan, baik dari pemerintah, pemuka agama maupun masyarakat luas. Sejatinya juga penghayatan ajaran agama yang benar akan menghantar kita pada suatu pemahaman dan keterbukaan dalam menerima setiap perbedaan. Kita tidak boleh memahami agama dengan fanatik buta serta terjebak dalam doktrin-doktrin yang sesungguhnya tidak benar dan justru merusak nilai-nilai fundamental dari agama yang kita yakini. Dengan menjalankan serta menghidupi sikap ini, kita tentu akan tiba pada apa yang dicita-citakan para pendiri bangsa yakni menghidupi paham nasionalisme Indonesia.
Kita harus membangun keyakinan bahwa Indonesia hanya akan mampu bergerak menjadi Negara maju jika masyaraktnya telah memiliki kesadaran untuk menghidupi nilai-nilai nasionalisme Indonesia. Sebagaimana dicita-citakan para pendiri bangsa ini, nasionalisme Indonesia merupakan paham yang setidaknya paling baik bagi Indonesia ditengah-tengah kemajemukan yang ada. Kita patut mencontohi Negara-negara maju yang memiliki pemisahan secara jelas antara agama dan paham berbangsa maupun bernegara. Indonesia dalam hal ini tidak akan pernah menjadi Negara yang sungguh-sungguh maju jika kita belum sungguh-sungguh menghidupi nilai-nilai nasinalisme Indonesia. agama sendiri harus menjadikan kita menjadi orang-orang yang harmonis, berpikiran terbuka dan toleran. (*/Rey)
Penulis: Bastian Panjaitan, CMF (Mahasiswa Semester VIII Fakultas Filsafat Unwira Kupang)