YKBH Sarnelli dan WALHI RDP dengan DPRD Sumba Barat soal Konflik Tanah

0
305
RDP masyarakat, Walhi NTT dan YKLBH dengan DPRD Sumba Barat

NTT-News.com, Waikabubak – Yayasan Kajian dan Bantuan Hukum (YKBH) Sarnelli dan WALHI Nusa Tenggara Timur bersama masyarakat dua desa melakukan Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Anggota DPRD Sumba Barat pada, Senin 09 Maret 2020 lalu di aula DPRD Sumba Barat.

Dalam RDP ini diundang 3 (tiga) perusahan Penanaman Modal Asing (PMA) pariwisata perhotelan yang berkonflik dengan masyarakat setempat, diantaranya PT. Indonesia Adventure Sport (Hotel Nihi Sumba), PT. Graha Sukses Pratama (GSP), dan PT. Sutera Marosi Kharisma (SMK). Dalam RDP tersebut pimpinan PT. Sutera Marosi Kharisma tidak hadir, meski telah diundang oleh DPRD Sumba Barat.

Ketiga perusahan di atas diadukan oleh sejumlah masyarakat ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumba Barat atas pencaplokan tanah milik warga di Desa Patiala Bawa Kecamatan Lamboya, oleh PT. SMK dengan luas lahan 20-an HA termasuk tanah ulayat, dan PT. GSP di desa yang sama seluas 50 HA, dan Desa Hobawawi Kecamatan Wanukaka oleh PT. Indonesia Adventure Sport (Hotel Nihi Sumba) kurang lebih 16.700 M2.

Disampaikan YKBH Sarnelli dan WALHI NTT sebagai pendamping dan kuasa hukum masyarakat, Persoalan investasi pariwisata di selatan Sumba Barat telah menimbulkan permasalahan hukum, sosial, dan ekonomi warga setempat, sejak tahun 2017 hingga tahun 2020 menjadi persoalan besar di bidang agraria yang sudah sejak lama tidak ada penyelesaian oleh pemerintah daerah Sumba Barat.

“Terhitung 17 laporan polisi oleh investor terhadap 30 puluh orang masyarakat setempat dengan dalil penyerobotan lahan milik investor, laporan tersebut dalam tahap lidik oleh Polres Sumba Barat. Kasus ini berkaitan dengan pencaplokan tanah milik warga, baik secara komunal seperti 2 buah kampung adat yang masuk dalam Hak Guna bangunan (HGB) PT. Graha Sukses Pratama (GSP), tempat ritual/ibadah kepercayaan marapu, lahan produktif pertanian dan perkebunan lahan kering,” kata pengacara masyarakat, Umbu Tamu Ridi,SH.,MH.

Selain upaya pencaplokan, ada transaksi yang tidak adil antara investor dan masyarakat sesuai peraturan perundang-undangan, yang mana investor membayar lahan warga dengan uang 10 juta rupiah (uang sirih pinang) dan tidak sesuai ukuran lahan milik masyarakat yang ingin dilepas atau dijual, dan dalam kwitansi penerimaan uang sirih pinang tidak ada sama sekali klausul bahwa uang tersebut sebagai bagian dari kesepakatan jual beli lahan antara investor dan masyarakat, namun investor menjadikan bukti tanda tangan penerimaan uang sirih pinang sebagai bentuk kesepakatan pelepasan hak atas tanah, selain itu kwitansi tersebut, investor menjadikannya sebagai syarat penerbitan Hak Guna Bangunan (HGB) yang dilakukan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sumba Barat.

Namun celakanya Badan Pertanahan Nasioanl (BPN) Sumba Barat tidak melakukan penelitian, apakah tanah-tanah yang diklaim perusahan adalah tanah sudah terjual atau belum, sehingga dari kecerobohan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sumba Barat telah mengakibatkan 2 buah kampung adat, tanah pemali/ulayat, lahan pertanian produktif dimasukan dalam Hak Guna bangunan (HGB) Perusahan.

Padahal menurut Umbu, tanah-tanah tersebut sama sekali tidak pernah dilepaskan baik dari tahun 1994 sampai sekarang.

“Pada kesempatan RDP hari saat itu, kami meminta BPN agar membuka seluruh status tanah perusahan sesuai apa yang dimiliki BPN, sehingga mengeluarkan Hak Guna Usaha (HGU) pada tanah ulayat, sawah dan kampung adat warga,” tegas Umbu Tamu Ridi.

Frengky, Kepala seksi infrastruktur Badan Pertanahan Nasional (BPN), yang hadir pada kesempatan Rapat Dengar Pendapat (RDP), mengklarifikasi bahwa BPN Sumba Barat tidak tau menau soal jual beli lahan.

“Bukan kami BPN yang menjaga bapa mama punya tanah, tapi kami hanya jaga dokumen, selama ini masyarakat menyalahkan kami saja, tiap ada masalah datang tanya BPN, kalau masyarakat sudah jual ya jual,” tegas Frengky

Pada kesempatan itu, sontak beberapa anggota DPRD meminta BPN harus fair dalam memberikan klarifikasi. “Lazarus Bulu anggota fraksi Partai Golkar meminta BPN agar tidak seolah-olah mencuci tangan atas peristiwa ini, wajar kalau masyarakat menyalahkan, sebab yang memiliki kewenangan pengukuran dan administrasi pertanahan adalah BPN, Jadi jangan seolah ingin berdebat dengan kami,” tegas Lasarus.

Begitupun salah satu anggota DPRD Fraksi Nasdem, Lukas Lebu Gallu.SH, meminta BPN untuk membuka siapa-siapa yang telah menjual tanah-tanah ulayat sehingga BPN menerbitkan HGB di lahan tersebut.

Kesimpulan dari Rapat Dengar Pendapat (RDP) ini diputuskan bahwa DPRD akan melakukan pengecekan dalam dokumen/laporan tertulis yang akan disampaikan oleh YKBH Sarnelli dan WALHI NTT serta akan melakukan RDP lanjutan.

Penulis : DH/Rey

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini