Oleh: Pater Yohanes Kopong Tuan MSF
NTT-News.com – Bukan untuk menuduh, tapi sebuah himbauan untuk berjaga-jaga dan waspada terhadap segala kemungkinan dan jurus yang digunakan untuk memenangkan “pertarungan” ruang demokrasi pada pilpres 2019. Pengalaman pilkada serentak 2017, membuktikan bahwa ketika usaha untuk menarik simpati dan empati pemilih melalui kerja nyata yang gemilang tidak bisa dilawan, maka jurus jitu terakhir adalah membangun opini melalui kampanye agama, suku, ras dan kriminalisasi, bahkan ajaran yang sebenarnya baik diputar balikan sedemikian rupa untuk menakuti para pemilih yang nota bene sederhana.
Upaya-upaya menuju ke arah sana sebenarnya mulai nampak, dengan postingan di wall-wall facebook yang menunjukan dengan jelas dan tegas bahwa ketika kerja nyata yang memang sedang dan sudah dilakukan tidak bisa ditandingi dengan sekedar ide dan data yang valid, maka segala hal yang dilakukan oleh pihak lawan yang tentunya sudah dipikirkan dengan matang dalam sebuah analisa yang dipertanggungjawabkan dianggap sebagai sebuah kegagalan.
Dan serakan celoteh yang hanya menyerang kelemahan yang berdasarkan asumsi pribadi akan memuncak pada sebuah perlawanan yang dianggap bisa mengalahkan lawan yaitu isu agama, suku dan kriminalisasi. Dan unsur yang akan menyertai isu-isu ini berada pada sebuah penantian momentum yang tepat, misalnya pernyataan yang dianggap sebagai “salah bicara” atau “perlakuan” tidak adil pada pihak lawan, yang dengan itu dijadikan sebagai satu kekuatan isu untuk melakukan gerakan demosntrasi besar-besaran untuk melegitimasi kebenaran asumsi mereka.
Berhadapan dengan kewaspadaan atas kampanye mengatasnamakan agama, suku dan kriminalisasi seharusnya juga menjadi kewaspadaan dari kelompok yang selama ini memang mengkampanyekan perdamaian, persatuan melalui kerja-kerja nyata yang bisa dipertanggungjawabkan.
Kita tidak hanya melawan isu-isu murahan seputar kampanye atas nama agama, suku dan kriminalisasi, tetapi juga perlu memiliki strategi pemutus mata rantai kampanye hitam bukan dengan cara-cara kotor tetapi dengan gerakan optimisme tanpa ketakutan, yang mana meski ada ancaman, masyarakat tetap meyakini bahwa ancaman itu hanya sebuah cara bodoh yang hendak merusak persatuan.
Usaha yang bisa dilakukan adalah melakukan dialog terbuka dengan siapapun, bersetiakawan dengan siapapun, menerima kritikan atau bahkan hujatan tanpa harus membalas dengan hujatan serta memberikan pernyataan yang membangun kesejukan dan menumbuhkembangkan rasa aman dan adil tanpa harus membalas setiap komentar miring tentang pihak lawan.
Ketika setiap kampanye atas nama agama, suku dan kriminalisasi tidak harus ditanggapi dan dikomentari dengan saling menyerang, maka percayalah bahwa jurus apapun yang digunakan sebagai serangan fajar menjelang pilpres 2019 akan dengan sendirinya runtuh luluh lantah tak berkeping.
Mewaspadai dan mencegah dengan cara yang santun, dengan bahasa yang elegan maka kita tidak akan pernah jatuh pada strategi dan jurus “jitu” kampanye atas nama agama, suku dan kriminalisasi.
NTT: Gerbang Toleransi
Paus Fransiskus mengatakan bahwa; Politik, pertama-tama adalah sebuah pelayanan,” “Politik itu bukan budak dari ambisi-ambisi pribadi, dari oragansi kelompok atau dari kelompok pencari keuntungan,”
Berpijak pada pesan Paus Fransiskus di atas, maka jelas bahwa pilpres 2019 sebagai salah satu ruang demokrasi politik yang harus dijadikan sebagai landasan membangun dan memperkuat semangat toleransi dalam bentuk pelayanan tulus.
Harus diakui bahwa, Indonesia bahkan dunia mengakui Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah propinsi yang paling toleran dan menjadi contoh toleransi bagi daerah dan negara lain.
Meski demikian harus diakui pula bahwa, menjelang setiap pemilu baik pilkada, pileg maupun pilpres, isu-isu sara dan kampanye hitam yang memecah belah persatuan dan mengganggu semangat toleransi menjadi hidangan murahan yang paling diminati oleh kelompok intoleran dan pemecah belah persatuan. Bukan tidak mungkin, di NTT sendiripun meski secara terselubung bertumbuh kembang kelompok-kelompok intoleran.
Budaya toleransi NTT yang diperkuat oleh semangat gotong royong, semangat kita adalah saudara menjadi pengikat kuat tenunan toleransi di wilayah NTT. Dari berbagai macam kegiatan keagamaan, semua suku dan agama saling bersilaturahmi dan berkontribusi bagi terlaksana dan suksesnya kegiatan tersebut.
Nafas gotong royong dan silaturahmi wajib dijaga oleh semua insan NTT untuk menunjukan bahwa pemilu adalah jalan untuk semakin memperkuat rasa kebangsaan yang kita mulai dari NTT dan pemilu sebagai ruang demokrasi untuk membangun peradaban bangsa yang lebih baik yaitu persatuan dan persaudaraan dalam perbedaan.
Perbedaan pilihan harus diterima sebagai sebuah demokrasi dan hak asasi manusia. Namun jangan sampai perbedaan pilihan justru melemahkan semangat pelayanan. Perbedaan pilihan menjadi jembatan untuk tetap mengedepankan semangat saling melayani sebagai pijakan kuat mempertahankan toleransi di NTT menuju Nusa Terindah Toleransi di bumi NTT. (*/rm)