NTT-News.com, Kupang – Kapolsek Kecamatan Kodi Bangedo Kabupaten Sumba Barat Daya (SBD), Iptu Agus Suprianto menyampaikan ujaran membinatangkan manusia dengan sebutan monyet kepada wartawan media ini lantaran narasumber media ini menyebut pelaku pemerkosaan anak dibawah umur berisial PRM masih bebas berkeliaran meskipun laporan Polisi telah masuk sejak tanggal 23 Agustus 2019 lalu.
Akibat pernyataan narasumber itu, Kapolsek Kodi Bangedo marah-marah dan menuduh seolah wartawanlah letak kesalahan terbesar. Padahal pernyataan tersebut disampaikan oleh keluarga korban sekaligus sebagai tokoh agama Kristen, Pdt Emiritus Daud Milla Ate yang menyayangkan belum tertangkapnya para pelaku.
“Iya situ punya berita secara tanya dulu yang baik, keliaran-keliaran dimana? Kasih tau dimana? Kita sudah siang malam kau muat-muat berita. Konfirmasi dulu ke kita selaku kapolsek, tanya dengan anggota. Siang malam kita cari dia, kau tidak mendukung. Kampar berita ini, aneh-aneh. Omong hati-hati kau kena kode etik jurnalistik itu. Kau kira kau, siapa kau?,” tanyanya beruntun tanpa memberikan kesempatan kepada wartawan untuk menjelaskan hal tersebut, Minggu 25 Agustus 2019.
Dia menyebutkan pelaku pemerkosaan yang lain, yang bukan termasuk kasus perkosaan yang diberitakan media ini, yakni Loghe Kaliku dari Kecamatan Kodi, Dimu Kaka yang ditangkap pihaknya dengan menembaki kaki pelaku.
“Kau kira siapa kau? Itu pelaku perkosaan Kaliku kita tangkap itu, matamu ndak lihat ini. Kita siang malam kerja kau enak-enak saja kasih berita kau. Kalau keliaran dimana dia? Kau kasih tau, kita cari-cari pelaku perkosaan kau hanya dengar berita sepihak sudah ngomong kanan kiri. Monyet Kau,” umpatnya sambil mematikan teleponnya.
Menyikapi umpatan Kapolsek ini, Ketua DPW NTT Jurnalis Online Indonesia (JOIN) Joey Rihi Ga mengatakan bahwa apa yang disampaikan Kapolsek Kodi Bangedo sebagai pertanda bahwa belum mampu menjadi seorang pemimpin. Selain itu, mengeluarkan kata-kata rasis seperti itu sangat tidak etis, apalagi kepada pekerja media.
“Dia harusnya menjaga kata-kata seperti itu, kemarin di Surabaya dan berbuntut pada kerusuhan di Papua itu disebabkan oleh kata-kata kotor yang keluar dari mulut aparat yang bilang monyet. Memangnya ada monyet yang bisa tulis berita?,” tanyanya.
Menurut Joey, pernyataan seorang Kapolsek yang marah-marah seperti itu, bisa saja karena merasa terusik dengan kinerja mereka yang tidak becus.
“Kasus sudah dilaporkan dari satu bulan yang lalu, tapi kok belum ada kejelasannya. Mungkin saja keluarga dari korban tidak pernah disampaikan informasi perkembangan kasus itu, apalagi saat melaporkan keluarga mengaku tidak mendapatkan bukti pelaporan,” tandas Joey.
Joey juga meminta Kapolsek untuk belajar lebih humanis, sebab jika kepada wartawan saja sudah berani mengatakan monyet maka tidak menutup kemungkinan kata-kata seperti itu akan dilontarkan juga kepada masyarakat yang harus diayomi.
“Jika tidak mampu berkata lebih baik, sebaiknya tidak usah menjadi Kapolsek. Belajar lagi dululah. Lagian selalu ada ruang untuk mengklarifikasi jika dalam pemberitaan merasa itu tidak benar. Kapolda NTT, tolong ajar lagi anak buah bapak ini agar belajar menghormati sesama anak bangsa anak manusia, bukan anak monyet. Kita juga minta agar Iptu Agus Suprianto meminta maaf,” tegasnya.
Pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan Kapolsek sangat tendesius. Wartawan memang bukan siapa-siapa dan tidak punya siapa-siapa. Tetapi diujung pena wartawan semua orang dapat menikmati berbagai informasi. “Informasi-informasi itu bukan dari monyet, tapi dari wartawan,” kata Joey lagi.
Penulis: Rey M