NTT-News.com, Waikabubak – Sidang Pra Peradilan dugaan tindak pidana Korupsi kegiatan Bimbingan Teknis (Bimtek) Aparat Desa yang melibatkan kedua tersangka, Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD) dan Kabid Pemerintah Desa (Pemdes) Rinto Danggaloma menghadirkan dua orang Kepala Desa (Kades) di Kabupaten Sumba Barat Daya (SBD).
Kedua Kades tersebut dihadirkan sebagai saksi dihadirkna pihak penggugat untuk memberikan kesaksian yang memperkuat materi Pra Peradilan tentang penetapan Tersangka oleh penyidik Polres Sumba Barat yang dianggap tidak memiliki kekuatan hukum yang sah. Kedua kades itu adalah, Kades Wali Ate dan Kades Marokota.
Kades Marokota, Siprianus Bili Wada dalam kesaksiannya secara umum membenarkan bahwa Bimtek itu tidak menyalahi aturan berdasarkan Peraturan mentri dalam negeri. Baginya Bimtek tersebut sangat penting untuk menambah pengetahuan aparat desa.
Sementara Kades Wali Ate, menjawab seadanya bahwa dalam proses pengumpulan dana Bimtek ada yang dianggarkan per desa Rp. 54 juta, yang disetor sebesar Rp. 44 juta, sedangkan Rp 10 juta tidak di setor tetapi dianggarkan sebagai uang saku bagi 4 orang yang dikirim ikut Bimtek di Jakarta, yakni Kades, sekdes, bendahara dan ketua BPD.
Kasie Humas Pengadilan Negeri Waikabubak, Sony Eko Andrianto, SH usai sidang mengatakan bahwa sidang yang dipimpin Hakim Nasution, SH pada Jumat, 27 Juli 2019 dengan agenda Pembuktian menghadirkan dua saksi untuk memperkuat materi gugatan Kepala Dinas dan Kepala Bidang Pemdes Dinas PMD SBD yang mempraperadilaknan Kapolres Sumba Barat dalam penetapan tersangka dugaan tindak pidana korupsi.
“Hari Rabu lalu Pembacaan Permohonan, hari Kamis kemarin Replik atau mendengarkan jawaban dari polisi dan hari ini adalah pembuktian, sidang hari ini di tunda dan meminta para pihak untuk mempersiapkan kesimpulan pada Senin 29 Juli 2019, dan hari Rabu nanti putusan, tapi tergantung dari Hakim. Jadi putusannya antara hari Rabu atau hari Kamis karena sidang Pra peradilan sesuai kalender hanya dijadwalkan 7 hari. 7 hari sudah harus diputus,” kata Sony, Jumat 26 Juli 2019 petang.
Di juga mengatakan bahwa dalam KUHAP hak untuk melakukan Pra Peradilan ruangnya sangat terbatas, saksi yang dibutuhkan memang hanya sedikit dan pihak kepolisian tidak perlu harus mempersiapkan saksi, cukup membuktikan dengan dua alat bukti yang cukup.
Disampaikan juga bahwa penetapan tersangka dalam KUHAP tidak diatur, namun Mahkamah Konstitusi memperluas lingkup pra peradilan, bukan saja untuk Penahanan dan penghentian penyidikan tetapi juga dalam penetapan tersangka.
“Dalam penetapan tersangka maka hakim boleh memeriksa tentang penetapan tersangka, namun tidak masuk ke pembuktiannya terlalu dalam, artinya kalau saksi-saksinya sudah menerangkan tentang pokok-pokok perkara maka sampai situ saja. Jadi hakim hanya bisa menilai. Misalnya, mana Pak Polisi punya alat Bukti, kalau sudah dua nanti dinilai oleh hakim tentang bobot dua alat bukti penetapan tersang tersebut,” ujarnya.
Dia juga menjelaskan bahwa Hakim tidak bisa masuk terlalu dalam ke materi Pokok perkara, hakim posisinya hanya ingin tau, apakah benar penetapan tersangka dalam kasus ini didasari oleh dua alat bukti atau tidak. Sebab dalam KUHAP, penetapan tersangka harus didasari dengan dua alat bukti yang cukup.
“Ketika masalah ini masuk ke Pengadilan, maka hakim punya kewajiban untuk menguji alat bukti yang dipakai Polisi atau para pihak. Jadi jika Hakim Pengadilan Negeri Waikabubak memutuskan nanti bahwa penetapan tersangkanya tidak memiliki dasar alat bukti yang kuat dan dimenangkan penggugat, maka tidak berarti kasus ini berhenti disini saja,” jelasnya.
“Polisi tinggal melengkapi alat bukti lain yang kurang dan kembali menetapkan tersangka, dan apabila berlanjut ke penyidikan dan proses peradilan tidak menutup kemungkinan juga adanya tersangka baru yang ditemukan terlibat berdasarkan hasil pengembangan dari polisi atau jaksa dalam kasus tersebut. Jadi nanti tergantung Polisi,” jelas Soni Eko lagi.
Penulis : Okta/Yunia