NTT-News.com, Kupang – Politisi kawakan, JN. Manafe yang terkenal tegas dan amat disegani dalam memimpin golkar pada masanya bernostalgia politik dengan Politisi Muda, Melkiades Laka Lena yang menahkodai Golkar NTT saat ini. JN Manafe adalah Ketua Golkar NTT kedua pasca Ben Mboi, memiliki segudang prestasi cemerlang yang patut diteladani generasi muda Golkar saat ini. Hebatnya, pada kesempatan itu Melki Laka Lena dan pengurus Golkar mendapat banyak petuah dari Politisi senior ini.
JN Manafe memulai kisahnya tentang pendidikan dan kemandiriannya saat meninggal Pulau Rote di usia 12 tahun, persisnya tahun 1943, JN Manafe sudah tinggalkan orangtua di Rote Ndao untuk bersekolah di Kupang. “Saya bersyukur pada Tuhan, karena di usia 12 tahun, saya tinggalkan Rote untuk sekolah di Kupang, belajar untuk mandiri dalam berpikir dan mengatasi masalah sendiri, dan sekolah tertinggi di NTT saat itu hanya Sekolah Dasar (SD),” kata mantan Ketua DPRD NTT ini.
Meski sudah tua dan ompong, juga pikun, tapi ingatannya masih kuat. Selepas SD itu, ia memasuki dunia kerja bersama orang Belanda di Jakarta, hingga secara diam-diam ikut testing masuk Akademi Pemerintahan Dalam Negeri (APDN) di Depdagri, lalu diterima masuk APDN di Malang angkatan pertama tahun 1954. “APDN pertama itu dibuka oleh Presiden Bung Karno,” ujarnya.
Ia menuturkan, selesai pendidikan di APDN, ia ditempatkan sebagai Pamong Praja pertama di Denpasar, Bali, kemudian tahun 1960 dimutasikan ke Komando Resort Militer (Korem) Kupang. Aura kepemimpinannya mulai nampak karena ketegasannya, sehingga tahun 1964, JN Manafe ditunjuk menjadi Sekretaris Bersama (Sekber) Golkar NTT, yang adalah cikal bakal lahirnya Partai Golkar. “Saat itu kita dibina di lingkungan militer jadi ada sikap tegas dan keras. Tapi tahun 1970 saya pindah lagi ke Denpasar sebagai Sekretaris Panglima hingga tahun 1974 ditunjuk sebagai Komandan Kodim Kupang yang juga membawahi TTS dan Alor,” cerita Manafe.
Kiprah politiknya di Partai Golkar mulai nampak jelas ketika ia dipercayakan sebagai ketua DPD I Partai Golkar NTT antar waktu tahun 1974, menggantikan Ben Mboi yang saat itu menjabat Kepala Rumah Sakit dan Kepala Dinas Kesehatan NTT, dimutasikan ke Jakarta. “Waktu itu kita menghadapi Pemilu tahun 1977. Dan, Tuhan sayang, saat itu Golkar meraih 90 persen dukungan, naik dari pemilu 1972 yang hanya 60 persen. Karena perolehan suara terus naik, maka pada Pemilu tahun 1982, Golkar tetap mempertahankan posisi 90 persen, saya terpilih kembali sebagai Ketua sekaligus Ketua DPRD NTT, kemudian diambil alih oleh (alm) Pa Titus Ully (orang tua dari Bapak Jacki Uly, Red),” jelas JN Manafe, yang sukses membesarkan tiga politisi kawakan Golkar; Pieter Boliona Keraf, Melkiadus Adoe, dan Mel Yakob (alm).
Karena prestasinya yang luar biasa dalam membesarkan Partai Golkar dan kadernya, meski sudah ‘pensiun’ dari Golkar, JN Manafe masih dipercayakan oleh Gubernur Herman Musakabe saat itu, untuk memimpin Golkar NTT. “Pak Herman Musakabe itu anak muda yang cerdas. Tahun 1992, dia minta saya menjadi ketua golkar untuk bisa mendukung pemerintah dan pembangunan, sampai Golkar menjadi pemenang Pemilu lagi tahun 1997 dengan perolehan 98 persen,” kata Manafe.
Pelajaran berharga dari seorang JN Manafe, ketika memimpin Golkar yang selalu gaduh dengan dinamika politiknya yang keras, ia selalu santun memimpin. “Trik saya, dalam rapat yang alot dan panas, saya selalu biarkan semua orang bebas bicara, setelah semua bicara baru saya bicara dan langsung ambil keputusan. Artinya, kita harus menghargai pendapat orang siapapun dia,” cerita Manafe.
Hal lainnya, ketika penentuan calon legislatif (caleg) pun tak pernah ada kegaduhan. Sebab, prinsipnya menempatkan caleg sesuai perolehan suara dari wilayah masing-masing. “Kalau perolehan suara terbanyak dari kabupaten tertentu, maka penetapan caleg pun sesuai urutan perolehan suara. Itu saya lakukan dan tidak ada protes, tidak ada yang berontak. Hal yang sama juga untuk penentuan calon bupati diambil dari putra daerah masing-masing, kecuali dari tentara. Jadi pendekatan saya itu persuasif, dan disesuaikan dengan budaya dari daerah tersebut,” tegas Manafe yang di eranya terkenal kritis terhadap atasan.
Petuah paling berharga dari seorang JN Manafe adalah soal politik identitas, yang masih menjadi referensi paling ampuh dalam hajatan politik di NTT. Bagi dia, sudah saatnya politik identitas dengan sentimen kuat kepada agama, ditinggalkan. “Artinya, sentiment Katolik dan Protestan tidak perlu lagi dibangkitkan. Kita harus berpikir dalam konteks NTT dengan memunculkan figur (orang) untuk memimpin NTT dengan prinsip keadilan. Itu pasti diterima semua rakyat NTT,” tandas Manafe.
Menurut dia, spirit utama sebuah kepemimpinan yang langgeng adalah mengenal dan memahami budaya juga tradisi setiap suku di NTT. Karena itu, yang paling penting adalah mencari pemimpin yang memikirkan NTT, bukan soal suku atau agama. “Kalau pola lama, Gubernur dari Katolik, maka wakilnya harus dari Protestan, sudah saatnya harus ditinggalkan. Biar orang yang menjadi gubernur dan wakil gubernur fokus memikirkan tentang NTT, tidak lagi berpikir suku dan agama,” begitu saran JN Manafe, dan berpesan kepada Melki Laka Lena selaku Ketua DPD I Golkar NTT bahwa modal utama menjadi pemimpin adalah menghadirkan keadilan bagi semua kader. “Kalau semua merasa ada keadilan, maka kebersamaan itu ada,” ujar pemilik Hotel Maya ini.
Politisi kawakan yang terkenal tegas dan memimpin golkar di usia muda itu pun bernostalgia tentang kiprah politiknya. Ia memberikan energi positif dan spirit baru kepada kader Golkar untuk selalu saling menghargai dalam kebersamaan, yang dibingkai dalam prinsip keadilan sosial.
“Hari ini, bertepatan dengan HUT Golkar ke-53, kami bersilahturami ke senior-senior Golkar. Ke pusarah mereka yang sudah almarhum maupun dengan yang masih hidup. Dan, sore ini kita berjumpa dengan sesepuh Bapak JN Manafe. Kita ingin mendengar cerita kejayaaan Golkar masa lalu, dan mendapat nasehat dan motivasi untuk memimpin Golkar menghadapi dinamika politik ke depan,” kata Melki Laka Lena, di Hotel Maya, Jumat (20/10)
Pertemuan dua tokoh berbeda generasi itu hangat dan penuh canda. Yang muda dengan penuh hormat menyimak kata-kata sang pendahulu yang sarat pengalaman dibidang politik dan kehidupan social kemasyarakatan. Pertemuan yang berlangsung sejak pukul 16.00 hingga 18.00 Wita penuh kekeluargaan.
“Kita beri penghormatan kepada pendahulu baik yang sudah tiada maupun yang masih ada. Kita bertemu Bapak Manafe untuk memperoleh masukan saran dan juga patuah,” kata Melki.
Melki menyatakan, petuah dari para pendahulu akan menjadi pegangan dan pedoman dalam membesarkan partai ke depan. “Tidak ada hal paling berharga yang kami berikan, namun dengan berkunjung dan berziarah memberi makna tersendiri saat HUT Partai Golkar,” tambah Melki. (*/rey)