
NTT-News.com, Mbay – Forum Ribuan Solidaritas Peduli Suku Paumere melakukan Aksi besar-besaran di depan Kantor Pengadilan Negeri Ende yang di pimpin oleh Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Cabang Ende, Senin 29 Oktober 2018 lalu.
Aksi tersebut berlangsung tepat di depan kantor Pengadilan Negeri Ende dengan Ribuan Masa Aksi dari kalangan masyrakat Suku Paumere yang berjuang untuk mendapatkan keadilan, ketenangan dan kedamaian tanpa penindasan dan kekerasan di atas tanah tumpah darahnya sendiri dan diatas bumi negerinya sendiri.
Kisah pilu Suku Paumere ini bermula ketika ada sekelompok orang, menyerahkan kurang lebih 800 Ha tanah milik Suku Paumere yang beralamat di Desa Sanggarhoho Kecamatan Nangapanda kepada TNI pada tahun 2007.
Dalam pernyataan sikap yang dibuat mereka merasa perlu untuk menjelaskan secara singkat tentang masalah terkait upaya penguasaan sebagian tanah suku Paumere oleh sekelompok orang, yang didukung oleh TNI dan POLRI, diantaranya sebagai berikut:
Turunan resmi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia atas perkara perdata, Reg. No. 2628 K / Pdt / 2009 dengan para pihak Andreas Baju, dkk: sebagai para penggugat / para pembanding / para pemohon kasasi; MELAWAN Musa Gedu, dkk; sebagai para penggugat / para terbanding / para termohon kasasi;
Turunan resmi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia atas perkara perdata, Reg, No. 113 PK / Pdt /2013 dengan para pihak Musa Gedu, dkk; sebagai para penggugat / para pembanding / para termohon kasasi/ para pemohon peninjauan kembali melawan Andreas Baju, dkk; sebagai para tergugat / para pembanding /para pemohon kasasi /para termohon peninjauan kembali;
Ada dugaan TNI memperalat 11 orang warga Dusun Ngajo Desa Ndeturea Kecamatan Nangapanda Kabupaten Ende, masuk ke lokasi tanah suku Paumere dan mematok pilar atas batas-batas tanah yang di klaim sebagai tanah milik Musa Gedu, dkk yang telah diserahkan kepada TNI untuk pembangunan Korem. Aksi dari ke-11 orang tersebut diketahui suku Paumere, dan warga menangkap dan membawah mereka ke Tetua adat dan diselesaikan secara hukum adat yang berlaku.
Proses penyelesaian masalah penyerobotan tanah pun dilakukan secara adat. Di hadapan masyarakat suku Paumere yang dihdiri pula oleh Kapolers Ende, Dandim 1602 Ende, Kapolsek Nangapanda, Danramil Nangapanda, insan pers dan tokoh-tokoh masyarakat lainnya, maka masalah inipun diselesaikan secara musyawarah-mufakat. Bukti dari kesepakatan ini adalah penandatanganan surat pernyataan oleh 11 orang penyerobot dan para saksi-saksi.
Selanjutnya, pada tanggal 16 Februari 2018 ke-11 warga pematok pilar suruhan Musa Gedu, dkk dan TNI yang dinilai warga sebagai pelaku penyerobotan tanah suku Paumere, yakni Mukkrim Taher, cs melaporkan warga suku Paumere ke Polres Ende. Kelima tokoh masyarakat suku Paumere tersebut adalah Heribertus Mbuja, Geradus Reo, Stefanus Dawi dan Aloysius Moa.
Heri Gani, cs yang pada waktu kejadian, hadir sebagai orang yang membantu memfasilitasi penyelesaian masalah dan meredam konflik yang terjadi, justru dituduh sebagai pelaku perampasan kemerdekaan bagi pelaku penyerobotan tanah. Heri Gani,cs adalah bukti kriminalisasi warga yang dilakukan oleh mereka yang punya kuasa atas hukum.
Pada tanggal 11 Oktober 2018 segerombolan anggota TNI–POLRI membongkar papan nama tanah suku yang dipasang oleh Kepala Suku Paumere. Sementara pada tanggal 16 Oktober 2018 lebih dari 100 orang anggota TNI-Polri yang dipimpin langsung oleh Dandim 1602 Ende, Wakapolres Ende masuk ke wilayah tanah suku Paumere dan melanjutkan pemasangan pilar, papan nama yang menuliskan “Tanah ini milik TNI Di larang masuk” serta menancapkan bendera merah putih di beberapa lokasi.
Kehadiran rombongan TNI-Polri yang di sinyalir bersama-sama dengan Indra Hasan sempat dihadang oleh warga suku Paumere di Kampung Ndetufeo. Karena dihadang oleh warga suku, TNI-Polri mulai bertindak represif terhadap warga dengan memberikan tembakan peringatan sebanyak 6 (enam) Kali. Mama-mama yang meratap dan berbaring di jalan dipindahkan secara paksa dengan cara mengangkat dan menarik ke pinggir jalan secara kasar. Rombongan TNI-Polri pun berhasil masuk ke lokasi untuk memasang pilar, papan nama yang menerangkan tanah milik TNI dan sejumlah bendera merah putih.
Selanjutnya tanggal 17 s/d 21 secara berturut-turut anggota TNI-Polri memaksa masuk ke kawasan tanah suku namun dihadang oleh warga suku, bahkan melawan upaya represif yang dilakukan oleh TNI-Polri. Kamis, 25 Oktober 2018, satuan Brimob Polda NTT memasang papan nama dengan menuliskan “Selamat datang di tanah Mako Brimob Polda NTT” di Niojaro desa Sanggarhorho.
Hingga tanggal 28 oktober 2018 ratusann warga suku Paumere bersiaga di lokasi tanah suku. Kendatipun pada hari itu TNI Polri tidak datang. Atas tindakan-tindakan represif, intimidasi, teror yang dilakukan oleh aparat TNI dan kepolisian, kini rakyat Suku Paumere mengalami, diantaranya, Trauma, ketakutan, kegelisahan, yang mandalam.
Ibu-ibu yang menyusui, kaum lansia mendapatkan tekanan phsykis yang hebat.
Anak-anak kecil termasuk anak usia sekolah ketakutan dan trauma menyebut aparat Polisi dan TNI, bahkan ada yang takut untuk pergi sekolah. Demikian dari rilis suku Paumere yang diterima wartawan media ini.
Bersamaan dengan itu ketua Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Cabang Nagekeo, Frederikus Rewa Bai mendesak agar Kapolres Ende dan Dandim 1602 Ende untuk hentikan segala tindakan represif, intimidasi, teror dalam bentuk apapun terhadap suku Paumere, dan GMNI Cabang Nagekeo juga mendesak ke Kapolda NTT untuk segera mencopot Kapolres Ende.
Fardin juga mengharapkan agar Pangdam Udayana, Kapolda NTT dan Kejaksaan RI untuk segera mencopot Kepala Kejaksaan Negeri Ende. “Bila pernyataan kami ini tidak diindahkan, maka kami tidak akan lelah berjuang dan terus berjuang. Kami kami juga tak Lelah untuk datang dan kembali ke kota untuk menuntut hak-hak kami yang di rampas dengan cara-cara tidak manusiawi. Kami akan terus bergerak dan terus bergerak, mengajak dan memperluas jaringan dan gerakan ini, hingga suara kami di dengar dan tuntutan kami dijawab,” ungkapnya. (Vhiand)