HukrimNews

Mahasiswa asal Sumba Diskusi Soal Kriminal Tapal Batas Ede-Gaura

×

Mahasiswa asal Sumba Diskusi Soal Kriminal Tapal Batas Ede-Gaura

Sebarkan artikel ini
Kiri, Sekretari, Titus T. Molu dan kanan Koordinator Forum Melki Hadi Umbu Moto
Kiri, Sekretari, Titus T. Molu dan kanan Koordinator Forum Melki Hadi Umbu Moto

NTT-News.com, Kupang – Dua kelompok mahasiswa asal Sumba yang di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) menggelar diskusi singkat terkait maraknya tindak pidana kekerasan atau kriminal di daerah asal mereka. Kedua kelompok mahasiswa itu adalah Hipmalbar dan Tamera.

Hipmalbar dan Tamera tersebut bersepakat bersatu dalam satu gerakan, dengan gerakan itu, yakni Forum Pemuda, Mahasiswa Sumba Peduli Kriminal (F.PMSPK) yang dinahkodai oleh Melkianus Hadi Umbu Moto dan sekretaris Titus T. Molu.

Dalam diskusi tersebut, adapun yang dibahas dalam pertemuan itu adalah persoalan tapal batas antara Ede dan Gaura yang menyebabkan ada korban kekerasan hingga penghilangan nyawa orang, sehingga dalam waktu dekat Forum ini akan melakukan audience dengan Kapolda NTT terkait kasus penegakan hukum oleh Polres setempat.

“Konflik yang terjadi secara berturut-turut bagi kami ini terkesan ada pembiaran. Dan yang menjadi argumentasi hukum kami dalam hal ini, mengingat ada korban dalam tindakan kriminal itu yang kehilangan nyawa akibat pengeroyokan tersebut, maka dalam Pasal 351 ayat (3) KUHP diatur bahwa jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun,” kata Melki, Senin 3 Juli 2017.

Lebih lanjut dikatakannya, bahwa apabila mengacu pada Pasal 351 ayat (3) KUHP yang mengatur lebih spesifik tentang penganiayaan yang menyebabkan matinya korban, jelas disebutkan bahwa pelaku pengeroyokan dikenakan ancaman pidana penjara maksimal 7 (tujuh) tahun.

Namun perlu pula diketahui, bahwa pengusutan kasus penganiayaan yang dilakukan oleh orang banyak (main hakim sendiri) sering kali menemui kebuntuan, mengingat bahwa pelaku penganiayaan tidak hanya satu atau dua orang. “Prinsip hukum pidana yaitu, siapa yang berbuat dia yang bertanggung jawab. Tetapi karena melibatkan orang banyak, sehingga susah sekali menentukan siapa pelaku yang paling bertanggung jawab,” paparnya.

Meskipun demikian, hal tersebut seyogyanya tidak menjadi penghambat bagi keluarga korban untuk menuntut keadilan bagi keluarga korban. “Demikian Polisi tidak bisa terkesan membiarkan persoalan yang jelas-jelas terjadi dan menimbulkan korban nyawa,” tandasnya.

Sementara itu, Titus T. Molu, juga menuturkan bahwa persoalan perseteruan tentang tapal batas yang telah memakan korban tidak bisa dibiarkan tetapi ditindak tegas secara hukum. “Keluarga bisa mengadu dan Polisi juga bisa bertindak dengan menggunakan undang-undang darurat atau pidana tipe A sesuai prosedur hukum yang benar,” tegasnya.

Sementara itu, salah satu sesepuh Sumba di Kupang, Daud Amarato kepada media ini mengatakan bahwa apa yang dilakukan para mahasiswa itu merupakan hal yang sangat positif dan perlu didukung banyak pihak untuk meredam persoalan yang telah memakan korban sejak beberapa tahun silam hingga pada beberapa pekan lalu.

“Pemerintah kedua daerah harus mendukung langkah yang diambil mahasiswa ini. Harus ada rekonsialisasi antara Bupati Sumba Barat dan Bupati Sumba Barat Daya, untuk membicarakan hal ini supaya jangan terus berkepanjangan. Mari bersama, jangan biarkan generasi kita nanti hidup dan bertumbuh dalam konflik, kita harus besarkan mereka dalam damai,” kata Daud.

Dia juga berharap agar pihak keamanan selalu sigap dengan masalah ini, yang dikuatirkan jangan sampai terjadi lagi persoalan yang mungkin sama dengan Kamis berdarah beberapa tahun silam. “Kan di desa Wetana itu sudah ada Pos Polisi, tapi polisi tidak ada, jadi coba Polisi mengambil tindakan preventif dengan mengaktifkan kembali Pospol yang ada disana,” tandasnya. (Rey)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *