News

Pemprov NTT Bantah Tudingan WALHI Soal Satgas Geothermal

×

Pemprov NTT Bantah Tudingan WALHI Soal Satgas Geothermal

Sebarkan artikel ini

Kupang, Ntt-news.com – Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) membantah tudingan dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) yang menyebut satuan tugas (satgas) yang dibentuk gubernur untuk menyeselaikan konflik Geothermal di Pulau Flores tidak independent dan membawa kepetingan pemerintah dan perusahaan. Pemerintah NTT melalui Asisten II bidang Ekonomi dan pembangunan, Rita Wuisan, memberikan klarifikasi resmi. Pemerintah menegaskan bahwa pembentukan Satgas Geotermal dilakukan secara objektif dan melibatkan para akademisi yang kredibel, dengan tujuan utama menemukan solusi terhadap konflik panas bumi yang sudah berlarut di Flores dan Lembata.

“Satgas ini dibentuk berdasarkan masukan dari berbagai pihak. Kami sangat menghargai pengawasan masyarakat sipil. Justru karena itu, Gubernur memandang perlu membentuk tim independen yang mampu mengkaji permasalahan secara ilmiah dan komprehensif,” tegas Wuisan kepada media di ruang kerjanya, Kamis 10 Juli 2025.

Kritik keras WALHI bahwa Satgas dibentuk untuk melegitimasi proyek geotermal yang ditentang masyarakat dibantah tegas oleh Pemprov NTT. Menurut Wuisan, tim Satgas tidak dibentuk untuk memperkuat posisi investor atau PLN, tetapi untuk menengahi perdebatan dengan pendekatan data dan kajian ilmiah.

“Para akademisi yang tergabung dalam Satgas berasal dari berbagai universitas ternama, seperti UGM, UI, Universitas Nusa Cendana, Universitas Flores, dan UNIPA Maumere. Mereka adalah pakar di bidangnya: geotermal, lingkungan, kesehatan masyarakat, dan kebijakan publik. Mereka bekerja dengan integritas dan profesionalisme,” ujarnya.

Satgas Geotermal, lanjut Wuisan, bekerja berdasarkan lima fokus utama yang dirumuskan dari keluhan masyarakat dan hasil pertemuan dengan berbagai pihak:

  1. Kesesuaian teknis pengeboran dengan SOP.
  2. Dampak dan pengelolaan lingkungan, termasuk reklamasi pasca-eksplorasi.
  3. Manfaat ekonomi lokal, termasuk pembagian hasil produksi ke pemerintah daerah.
  4. Tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) kepada masyarakat.
  5. Jaminan keberlanjutan dan keamanan proyek.

Sebagai contoh, dalam kasus PLTP Sokoria yang disebut WALHI bermasalah, Satgas menemukan bahwa pengeboran tidak memengaruhi debit air Gunung Kelimutu karena perbedaan kedalaman dan sumber air. “Ini adalah hasil kajian teknis, bukan asumsi,” tegas Wuisan.

Menyikapi berbagai dinamika, Gubernur NTT Melkiades Laka Lena, melalui pernyataan yang disampaikan Wuisan, menegaskan bahwa pemerintah tidak menutup mata terhadap keluhan masyarakat. Ia bahkan menetapkan tiga opsi berdasarkan hasil uji petik:

  1. Jika PLTP tidak bermasalah, maka proyek dapat dilanjutkan.
  2. Jika ada pelanggaran SOP, maka harus dilakukan evaluasi dan perbaikan.
  3. Jika terbukti merugikan masyarakat dan lingkungan, maka proyek harus dihentikan.

“Pemerintah daerah hadir bukan untuk menjadi juru bicara investor, tetapi untuk menjamin proses pembangunan berlangsung adil, transparan, dan sesuai aturan,” katanya.

Terkait tudingan bahwa Satgas telah melakukan “kejahatan intelektual” dengan berpihak kepada proyek dan mengabaikan penderitaan warga, Pemprov menyayangkan pilihan kata WALHI yang dianggap mencederai reputasi ilmiah para akademisi.

“Kami tidak melarang WALHI menyampaikan kritik. Tapi kami juga berhak menjelaskan bahwa para akademisi yang terlibat memiliki integritas. Mereka tidak sekadar turun ke lapangan tanpa data, melainkan melakukan validasi atas informasi dari berbagai sumber, termasuk masyarakat,” tambah Wuisan.

Pemerintah juga menepis tuduhan bahwa Rakor Uji Petik bersifat sepihak dan tidak memberi ruang diskusi. Ditekankan bahwa seluruh perwakilan, termasuk WALHI dan JPIC SVD, diundang dan terlibat, meski sebagian hadir secara daring.

“Proses ini masih berjalan. Tidak ada hasil final yang ditetapkan secara sepihak. Gubernur membuka ruang dialog yang luas, bahkan tidak menutup kemungkinan untuk menghentikan proyek jika benar-benar terbukti merugikan rakyat,” ujar Wuisan.

Melalui penegasan ini, Pemprov NTT berharap kritik yang muncul dapat menjadi masukan konstruktif dan bukan sekadar narasi yang melemahkan upaya penyelesaian. Pemerintah menegaskan kembali bahwa posisi mereka adalah sebagai fasilitator solusi, bukan pembela kepentingan ekonomi semata.

“Masalah geothermal ini adalah urusan bersama, dan kami akan terus berupaya mencari titik temu antara kebutuhan energi nasional dan hak-hak masyarakat lokal,” tutup Wuisan.***