Catatan Redaksi: Mengungkap Ending Pengadaan Lampu Sehen Bermasalah di SBD

0
327
Ilustrasi Panel Lampu Tenaga Matahari

NTT-News.com, Tambolaka – Dugaan oknum Tenaga Ahli (TA) Kabupaten di Sumba Barat Daya (SBD) bermain-main dalam kegiatan Dana Desa berawal dari statemen Bupati SBD, Markus Dairo Tallu, S.H yang dilansir Victory news dan Pos Kupang sekitar pertengahan September 2018 silam.

Di pos-kupang.com tanggal 19 September 2018, mengangkat judul Bupati Sumba Barat Daya Ingatkan Tenaga Ahli Jangan Bermain Proyek. Berselang berikutnya, dalam portal berita yang sama tanggal 26 September 2018 melansir berita Dukung Kepala BPMD Sumba Barat Daya Telusuri Tenaga Ahli Desa Bermain Proyek.

Dengan viralnya dugaan kegiatan (bukan Proyek-Red) Dana Desa yang melibatkan oknum TA Kabupaten SBD, sebagaimana dilecutkan orang nomor satu di SBD tersebut dalam sebuah Forum Rapat Koordinasi dan Sosialisasi Inovasi Desa yang diselenggarakan Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Kabupaten SBD di Aula Hotel Sinar Tambolaka, Selasa (18/9/2018).

Acara saat itu dihadiri sekitar 70 peserta terdiri kepala desa, perwakilan perguruan tinggi, Dinas PMD dan instansi terkait lainnya.

Desas-desus itu terus mendorong berbagai pihak untuk melakukan uji petik di lapangan dan ingin mengumpulkan bukti permulaan dari statemen Bupati SBD. Tidak sia-sia, diperoleh informasi dari desa, dugaan itu mendekati kebenarannya.

Sejumlah desa yang menganggarkan Kegiatan Lampu Sehen itu mengakui dalam APBDesa mereka sudah mengalokasikan biaya untuk Pengadaan Lampu Sehen Rp. 4.299.000/unit.

Fakta lainnya, Pengadaan Lampu Sehen itu dimulai sejak tahun 2017 dan 2018. Hanya fokus di Kecamatan Wewewa Barat, Wewewa Utara, Wewewa Timur, Loura dan Kecamatan Kota Waingapu, sebagian lainnya beberapa desa di wilayah Kodi.

Tidak tanggung-tanggung, total unit Lampu Sehen selama dua tahun anggaran itu sekitar ± 1.200 unit. Jika dikalikan dengan harga satuan Rp 4.299.000 (empat juta dua ratus sembilan puluh sembilan ribu rupiah), maka totalnya mencapai Rp 5.158.800.000 (Lima Miliar seratus lima puluh delapan juta delapan ratus ribu rupiah).

Sementara harga pasaran dari lampu sehen tanpa spesifikasi itu di pasar berkisar Rp. 1 juta hingga Rp. 2,5 juta.
Yang menjadi pertanyaan, barang yang diadakan itu tidak memenuhi spesifikasi alias tanpa merk dan diduga dikondisikan karena tidak disertai dengan harga pembanding dari minimal tiga pemasok barang/jasa sebagaimana ketentuan dalam pengadaan barang dan Jasa kegiatan Dana Desa.

Terhadap dugaan mark up pengadaan lampu sehen itu, sudah dilakukan audit oleh pihak berwenang, hanya tindaklanjutnya dari Laporan Hasil Pemeriksaan itu, belum ada hingga saat ini.

Modus pengadaan itu, bermula dari peluang dan kesempatan untuk percepatan perencanaan desa (APBDes) tahun 2017 dan 2018. Oknum TA Kabupaten bermain di celah itu dengan memanfaatkan keluguan orang desa. Oknum TA tersebut menjual jasa untuk pembuatan APBDes dengan tarif Rp 10 jt hingga 15 juta per desa.

Lalu, selain itu wajib di dalam APBDesa tersebut dititipkan beberapa unit lampu Sehen, bisnis cantik oknum TA tersebut. Bila desa tidak mengakomodir pesanannya, maka desa tersebut tidak difasilitasi dokumen APBDesa-nya. Karena dibawah tekanan, desa-desa mengiyakan saja dengan harapan biar dokumen APBDesa mereka selesai dikerjakan oleh okunum TA Kabupaten itu.

Dalam Pengadaan, oknum TA Kabupaten ini berkerjasama dengan sebuah perusahan berinisial PT. T yang berkedudukan di Kupang. Untuk melancarkan Bisnisnya di SBD, dibuatlah Kuasa Agen Penyalur (kuasa direktur) kepada warga SBD berinisial V alias Bapa A.

Namun pada saat realisasi pembayaran dari Desa, bertindak sebagai penerima uang dan menghitung uang adalah oknum TA Kabupaten tersebut. Lalu, Kuasa Agen Penyalur menyetor uang tersebut (slip ditulis oleh oknum TA) ke rekening istri dari oknum TA tersebut di Kupang dan juga kepada pemilik perusahaan di Kupang.

Seluruh dokumen dan kwitansi tetap di tanda tangani oleh kuasa agen penyalur SBD yakni V alias Bapa A dengan iming-iming ada imbalan jasanya.

Nah, dari kasus ini kenapa diam seribu bahasa, mestinya penegak hukum harus turun tangan menyelidiki persoalan ini. Kemana Jaksa, Polisi dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang getol mengurusi korupsi? Tidurkah atau sedang berada di zona nyaman karena tekanan aktor intelektual dengan pelicin yang masih awet?

Untuk diketahui, bahwa dugaan dari kasus ini bukanlah Pidana Umum yang harus menanti aduan masyarakat. Banyak persoalan dugaan korupsi, rakyat teriak sekencang mungkin agar Jaksa dan Polisi turun mewakili jeritan hati mereka. Namun tak satupun yang terungkap, bahkan tak ada satupun yang memberi angin segar dalam penangan kasus Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Ini adalah Pidana Khusus yang tidak masuk dalam delik aduan.

Mirisnya, beberapa tempat terendus bahwa ada oknum-oknum yang dipercaya dapat menyelesaikan persoalan korupsi yang terlibat mengerjakan proyek di desa yang sama dilakukan oleh oknum TA. Hasil reportase media ini, ada jalan yang dikerjakan oleh permintaan oknum-oknum ini. Jika demikian maka kemanakah rakyat merintih meminta bantuan?

Informasi yang dihimpun di SBD, Pendamping Desa dan Masyarakat Desa mempertanyakan, Kenapa oknum TA tersebut masih berkeliaran di SBD dan bekerja seperti biasa tanpa beban sedikit pun. Padahal oknum TA tersebut sudah disidangkan secara Kode Etik oleh Dinas PMD NTT selaku pemberi kerja, namun hasilnya belum diketahui, apa sidang tersebut terbukti atau tidak terbukti.

Mengapa Dinas PMD NTT ragu-ragu untuk memberhentikan oknum TA yang telah merugikan masyarakat desa di SBD?

Dinas PMD Provinsi NTT tidak usah malu-malu untuk memberikan sanksi, sebab oknum TA tersebut bisa dijerat dengan kesalahan menggunakan jabatan dalam menjalankan tugas pendampingan untuk memperkaya diri sendiri.

Salam Redaksi,

Teropong Tanpa Sekat

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini